Thursday 17 April 2014

Kekuasaan dan Kewenangan dalam Otonomi Daerah



BAB I
KEKUASAAN DAN KEWENANGAN DALAM OTONOMI DAERAH

Membicarakan otonomi daerah tidak bisa terlepas dari masalah pembagian kekuasaan secara vertikal suatu negara. Dalam sistem ini, kekuasaan negara akan terbagi antara ‘pemerintah pusat’ disatu pihak, dan ‘pemerintah daerah’ di lain pihak.
Sistem pembagian kekuasaan dalam rangka penyerahan kewenangan otonomi daerah, antara negara yang satu dengan negara yang lain, tidak akan sama, termasuk Indonesia yang kebetulan menganut sistem Negara Kesatuan. Inti yang terpenting dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah terdapatnya keleluasaan pemerintah daerah (discretionery power) untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas dan peran-serta aktif masyarakat dalam rangka mengembangkan dan memajukan daerahnya. Memberikan otonomi daerah tidak hanya berarti melaksanakan demokrasi dilapisan bawah, tetapi juga mendorong oto-aktivitas untuk melaksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi lingkungan sendiri.
Dengan berkembangnya pelaksanaan demokrasi dari bawah, maka rakyat tidak saja dapat menentukan nasibnya sendiri melalui pemberdayaan masyarakat, melainkan juga dan terutama memperbaiki nasibnya sendiri. Hal itu hanya mungkin terjadi, apabila pemerintahan pusat mempunyai kesadaran dan keberanian politik, serta kemauan politik yang kuat untuk memberikan kewenagan yang cukup luas kepada pemerintah daerah guna mengatur dan mengurus serta mengembangkan daerahnya, sesuai dengan kepentingan dan potensi daerahnya.
Kewenagan artinya keleluasan untuk menggunakan dana, baik yang berasal dari daerah maupun dari pusat sesuai dengan keperluan daerahnya tanpa campur tangan pusat, keleluasaan untuk menggali sumber-sumber potensial yang ada didaerahnya serta menggunakannya sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerahnya; keleluasaan untuk memperoleh dana perimbangan keuangan pusat-daerah yang memadai, yang didasarkan atas kriteria objektif dan adil.
Pada dasarnya partisipasi masyarakat pada pelaksanaan otonomi daerah harus dimengerti sebagai wujud representativeness dari suatu produk kebijakan. Pendapat umum mengakui bahwa pemerintahan yang sentralistik semakin kurang populer, karena ketidakmampuanya untuk memahami secara tepat nilai-nilai daerah atau sentimen aspirasi lokal. Alasannya, warga masyarakat akan lebih akam dan tentram dengan badan pemerintah lokal yang lebih dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun psikologis (Bonne Rust, 1968). Selain dari pada itu, memberikan keleluasan otonomi kepada daerah, diakuinya pula, tidak akan menimbulkan "disintegrasi", dan tidak akan menurunkan derajat kewibaan pemerintah nasional, malah sebaliknya akan menimbulkan respek daerah terhadap pemerintah pusat (Bryant Smith, 1986). Karena itu, ada sebuah slogan yang sering dilancarkan : "…. as much autonomy as possible, as much central power as necessary" (W. Buckelman, 1984). Partisipasi masyarakat sendiri dapat diwujudkan (representative) melalui proses pemilihan (election) yang baik (dengan penerapan konsep transparency, lihat diatas) sehingga peranan masyarakat dapat dilihat dari perwujudan kekuatan DPRD di dalam mengontrol pelaksanaan kebijakan oleh eksekutif.
Pembagian kekuasaan antara Pusat dan daerah dilakukan berdasarkan prinsip negara kesatuan tetapi dengan semangat federalisme. Jenis kekuasaan yang ditangani Pusat hampir sama dengan yang ditangani oleh Pemerintah di negara federal, yaitu hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter, dan agama, serta berbagai jenis urusan yang memang lebih efisien ditangani secara sentral oleh Pusat, seperti kebijakan makro ekonomi, standarisasi nasional, administrasi pemerintahan, badan usaha milik negara, dan pengembangan sumberdaya manusia. Semua jenis kekuasaan yang ditangani Pusat disebutkan secara spesifik dan limitatif dalam UU tersebut. Dalam RUU Pemda yang diajukan Pemerintah, agama termasuk yang diserahkan kepada daerah otonom sebagai bagian dari otonomi daerah. Namun MUI menyampaikan keberatan kepada DPR dan mendesak DPR dan Pemerintah untuk tetap menempatkan urusan agama pada Pusat dengan alasan kuatir akan muncul daerah agama.
Selain itu, otonomi daerah yang diserahkan itu bersifat luas, nyata dan bertanggungjawab. Disebut luas karena kewenangan sisa justru berada pada Pusat (seperti pada negara federal); disebut nyata karena kewenangan yang diselenggarakan itu menyangkut yang diperlukan, tumbuh dan hidup, dan berkembang di daerah; dan disebut bertanggungjawab karena kewenangan yang diserahkan itu harus diselenggarakan demi pencapaian tujuan otonomi daerah, yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan daerah dan antar daerah. Disamping itu otonomi seluas-luasnya (keleluasaan otonomi) juga mencakup kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya melalui perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
Kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom dalam rangka desentralisasi harus pula disertai penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, dan sumber daya manusia. Karena disamping daerah otonom propinsi juga merupakan daerah administratif, maka kewenangan yang ditangani propinsi/gubernur akan mencakup kewenangan dalam rangka desentralisasi dan dekonsentrasi. Kewenangan yang diserahkan kepada Daerah Otonom Propinsi dalam rangka desentralisasi mencakup :
1.      Kewenangan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, seperti kewenangan dalam bidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan, dan perkebunan.
2.      Kewenangan pemerintahan lainnya, yaitu perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro, pelatihan bidang alokasi sumberdaya manusia potensial, penelitian yang mencakup wilayah Propinsi, pengelolaan pelabuhan regional, pengendalian lingkungan hidup, promosi dagang dan budaya/pariwisata, penanganan penyakit menular, dan perencanaan tata ruang propinsi.
3.      Kewenangan kelautan yang meliputi eksplorasi, eksploatasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut, pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata ruang, penegakan hukum, dan bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara, dan
4.      Kewenangan yang tidak atau belum dapat ditangani daerah kabupaten dan daerah kota dan diserahkan kepada propinsi dengan pernyataan dari daerah otonom kabupaten atau kota tersebut.
            Dalam susunan pemerintahan di negara kita ada Pemerintah Pusat, Pemerintah DaerahProvinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, serta Pemerintahan Desa. Masing-masing pemerintahan tersebut memiliki hubunga yang bersifat hierarkis. Dalam UUD Negara Indonesiatahu 1945 ditegaskan, bahwa hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahandaerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur denganundang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah [pasal 18 A (1)].Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnyaantara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang [pasal 18 A ayat (2)]
Berdasarkan kedua ayat tersebut dapat dijelaskan lebih spesifik , bahwa:
a)      Antar susunan pemerintahan memiliki hubungan yang besifat hierarkis
b)      Pengaturan hubungan pemerintahan tersebut memperhatikan kekhususan dan keragamandaerah
c)      Pengaturan hubungan sebagaimana disebutkan pasal 18A ayat (1) diatur lebih lanjutdalam UU Republik Indonesia No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
d)     Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memiliki hubungan keuangan, pelayanan umum, dan pemanfaatan sumber daya
e)      Pengaturan hubungan sebagaimana disebutkan pasal 18 ayat (2) diatur lebih lanjut dalamUU Republik Indonesia No.33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Kewenangan provinsi diatur dalam pasal 13 UU No. 32 Tahun 2004 dapat diuraikansebagai berikut:
1.      Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah propinsi meliputi:
a)      Perencanaan dan pengendalian pembangunan
b)      Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang
c)      Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
d)     Penyediaan sarana dan prasarana umum
e)      Penanganan bidang kesehatan
f)       Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial
g)      Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten / kota
h)      Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten / kota
i)        Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah termasuk lintaskabupaten / kota
j)        Pengendalian lingkungan hidup
k)      Pelayanan pertahanan termasuk lintas kabupaten / kota
l)        Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil
m)    Pelayanan administrasi umum pemerintahan
n)      Pelayanan administrasi penanaman modal,termasuk lintas kabupaten / kota
o)      Penyeleggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan olehkabupaten / kota
2.      Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan
3.      Urusan pemerintahan propinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yangsecara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuaidengan kondisi kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Kewenangan kabupaten / kota diatur dalam pasal 14 yang dapat diuraikan sebagai berikut:
a)      Perencanaan dan pengendalian pembangunan 
b)      Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang 
c)      Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat
d)     Penyediaan sarana dan prasarana umum
e)      Penanganan bidang kesehatan
f)       Penyelengggaraan pendidikan
g)      Penangulangan masalah social
h)      Pelayanan bidang ketenagakerjaan
i)        Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah
j)        Pengendalian lingkungan hidup
k)      Pelayanan pertahanan
l)        Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil
m)    Pelayanan administrasi umum pemerintahan
n)      Pelayanan administrasi penanaman modal
o)      Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya
p)      Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan
Bila dicermati secara seksama, maka tampaknya kriteria yang digunakan dalam menentukan jenis kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom propinsi lebih didasarkan pada kriteria efisiensi daripada kriteria politik. Artinya, jenis kewenangan yang dipandang lebih efisien, diselenggarakan oleh propinsi daripada pusat ataupun kabupaten/kota. Sudah barang tentu dengan kekecualian bagi kewenangan yang diserahkan kepada propinsi khusus dan istimewa. Dari segi tujuan yang dicapai dengan otonomi daerah (jenis dan jumlah kewenangan) tersebut, tampaknya pertumbuhan ekonomi dan penyediaan infrastruktur lebih menonjol sebagai sasaran yang akan dicapai daripada peningkatan pelayanan publik kebutuhan dasar dan kesejahteraan rakyat. Kecuali bila pertumbuhaan ekonomi ini memang diarahkan pada penciptaan kesempatan kerja. Peningkatan kesejahteraan rakyat mungkin akan ditangani propinsi, semata-mata karena daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota belum mampu, atau karena dilimpahkan pusat kepada propinsi. Akan tetapi seperti dikemukakan pada awal tulisan ini, pekerjaan yang layak dari segi jenis dan penghasilan bagi penduduk yang berumur kerja merupakan kunci kesejahteraan sosial. Karena itu daerah otonom propinsi hendaknya mengarahkan pertumbuhan ekonomi kepada penciptaan kesempatan kerja tersebut.
Desentralisasi kekuasaan kepada daerah disusun berdasarkan pluralisme daerah otonom dan pluralisme otonomi daerah. Daerah otonom tidak lagi disusun secara bertingkat (Dati I, Dati II, dan Desa sebagai unit administrasi pemerintahan terendah) seperti pada masa Orde Baru melainkan dipilah menurut jenisnya, yaitu daerah otonom propinsi, daerah otonom kabupaten, daerah otonom kota, dan kesatuan masyarakat adat (desa atau nama lain) sebagai daerah otonom asli. Jenis dan jumlah tugas dan kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom (otonomi daerah) tidak lagi bersifat seragam seluruhnya melainkan hanya yang bersifat wajib saja yang sama sedangkan kewenangan pilihan diserahkan sepenuhnya kepada daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota untuk memilih jenis dan waktu pelaksanaannya. Perbedaan daerah otonom kabupaten/kota dengan daerah otonom kabupaten/kota lainnya tidak saja terletak pada jenis kewenangan pilihan yang ditanganinya tetapi juga jenis kewenangan wajib yang mampu ditanganinya karena bila belum mampu menanganinya maka jenis kewenangan itu buat sementara dapat diurus oleh propinsi.
Perbedaan setiap daerah otonom propinsi terletak pada apakah propinsi itu daerah khusus/istimewa ataukah biasa, dan apakah terdapat kabupaten atau kota yang berada dalam wilayah propinsi itu yang belum mampu menangani semua jenis kewenangan wajib tersebut. Di Indonesia dikenal tiga propinsi yong berstatus khusus, yaitu DKI Jakarta (khusus karena ibukota negara), Daerah Istimewa Aceh (dalam hal sejarah, adat istiadat dan agama), dan Daerah Istimewa Yogyakarta (dalam hal sejarah dan kepeminpinan daerah). Bila bercermin pada kemampuan kabupaten dan kota yang terdapat pada sejumlah propinsi di Indonesia dewasa ini, maka untuk beberapa propinsi tersebut seharusnya diberi kewenangan yang lebih besar daripada kabupaten dan kota. Propinsi Irian Jaya, Kalimantan Tengah, dan Riau mungkin termasuk kedalam kategori ini, sedangkan semua propinsi di Jawa, Sumut, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara misalnya yang hampir semua kabupaten/kotanya sudah memiliki kemampuan di atas rata-rata tetap mengikuti UU tersebut (kewenangan kabupaten dan kota lebih banyak daripada propinsi). Akan tetapi pluralisme otonomi daerah seperti ini rupanya dinilai terlalu kompleks sehingga tidak diadopsi dalam UU Pemerintahan Daerah tersebut. Desa (Jawa), nagari (Sumbar), baniar (Bali), huta/kuta (Batak), negeri (Maluku), gampong (Aceh), dan nama lain di daerah lain dikembalikan statusnya sebagai kesatuan masyarakat adat yang berwenang mengurus rumah tangganya sendiri. Desa dan kesatuan masyarakat adat lainnya itu diakui sebagai memiliki otonomi asli, yaitu tugas dan kewenangan yang lahir berdasarkan adat istiadat, sejarah, dan tradisi masyarakat tersebut. Kesatuan masyarakat adat bukan lagi unit administrasi pemerintahan terendah; ia bukan lagi perpanjangan tangan negara atau daerah otonom. Negaranisasi yang dilakukan Orde Baru terhadap kesatuan masyarakat adat, yang menyebabkan kehancuran kelembagaan, kemampuan, pengetahuan, dan sumberdaya lokal, hendaknya diakhiri. Kesatuan masyarakat adat hendak dikembalikan sebagai self governing community. Karena pada masa lalu kesatuan masyarakat adat ini cenderung menjadi korban pengusaha kehutanan, pengusaha industri, pengusaha perumahan, dan pengusaha industri pariwisata, maka dalam UU ini ditegaskan keharusan adanya kerjasama antara perusahaan yang melakukan investasi di kawasan pedesaan tersebut dengan kesatuan masyarakat adat.
Dalam rangka negara kesatuan, Pemerintah Pusat masih memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap daerah otonom. Tetapi pengawasan yang dilakukan pusat terhadap daerah otonom diimbangi dengan kewenangan daerah otonom yang lebih besar, atau sebaliknya, sehingga terjadi semacam keseimbangan kekuasaan. Keseimbangan yang dimaksud ialah seperti berikut : Pengawasan ini tidak lagi dilakukan secara struktural, yaitu bupati dan gubernur bertindak sebagai wakil Pusat sekaligus kepala daerah otonom, dan tidak lagi secara preventif perundang-undangan, yaitu setiap Perda memerlukan persetujuan Pusat untuk dapat berlaku. Menurut UU baru ini, bupati dan walikota sepenuhnya menjadi kepala daerah otonom yang dipilih oleh dan bertanggungjawab kepada DPRD dan dapat diberhentikan oleh DPRD pada masa jabatannya tetapi penetapan ataupun pemberhention kepala daerah secara administratif (pembuatan Surat Keputusan) masih diberikan kepada Presiden. Gubernur pada pihak lain masih merangkap sebagai wakil Pusat dan kepala daerah otonom, tetapi UU baru ini menetapkan kewenangan Pusat dan kewenangan DPRD untuk mengontrol gubemur secara seimbang. Pengawasan Pusat terhadap daerah otonom menurut UU baru ini dilakukan berdasarkan supremasi hukum. Artinya, setiap Perda yang dibuat oleh DPRD dan Kepala Daerah langsung dapat berlaku tanpa memerlukan persetujuan Pemerintah. Akan tetapi Pusat setiap saat dapat menunda atau membatalkannya bila Perda itu dinilai bertentangan dengan Konstitusi, UU dan kepentingan umum.
Sebaliknya, bila daerah otonom (DPRD dan Kepala Daerah) menilai justru tindakan Pusat menunda atau membatalkan itulah yang bertentangan dengan Konstitusi, UU atau kepentingan umum, maka daerah otonom dapat mengajukan gugatan/keberatan kepada Mahkamah Agung untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Pusat dan daerah otonom harus patuh kepada keputusan MA.
Otonomi daerah kadang-kadang hanya dipahami sebagai kebijakan yang bersifat institutional belaka yang hanya dikaitkan dengan fungsi-fungsi kekuasaan organ pemerintahan. Oleh karena itu, yang menjadi perhatian hanyalah soal pengalihan kewenangan pemerintahan dari tingkat pusat ke tingkat daerah. Namun, esensi kebijakan otonomi daerah itu sebenarnya berkaitan pula dengan gelombang demokratisasi yang berkembang luas dalam kehidupan nasional bangsa kita dewasa ini.
Pada tingkat suprastruktur kenegaraan maupun dalam rangka restrukturisasi manajemen pemerintahan, kebijakan otonomi daerah itu dikembangkan seiring dengan agenda dekonsentrasi kewenangan. Jika kebijakan desentralisasi merupakan konsep pembagian kewenangan secara vertikal, maka kebijakan dekonsentrasi pada pokoknya merupakan kebijakan pembagian kewenangan birokrasi pemerintahan secara horizontal. Kedua-duanya bersifat membatasi kekuasaan dan berperan sangat penting dalam rangka menciptakan iklim kekuasaan yang makin demokratis dan berdasar atas hukum.
Oleh karena itu, kebijakan otonomi daerah itu tidak hanya perlu dilihat kaitannya dengan agenda pengalihan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi juga menyangkut pengalihan kewenangan dari pemerintahan ke masyarakat. Justru inilah yang harus dilihat sebagai esensi pokok dari kebijakan otonomi daerah itu dalam arti yang sesungguhnya.
Otonomi daerah berarti otonomi masyarakat di daerah-daerah yang diharapkan dapat terus tumbuh dan berkembang keprakarsaan dan kemandiriannya dalam iklim demokrasi dewasa ini.Jika kebijakan otonomi daerah tidak dibarengi dengan peningkatan kemandirian dan keprakarsaan masyarakat di daerah-daerah sesuai tuntutan alam demokrasi, maka praktek-praktek kekuasaan yang menindas seperti yang dialami dalam sistem lama yang tersentralisasi, akan tetap muncul dalam hubungan antara pemerintahan di daerah dengan masyarakatnya.
Bahkan kehawatiran bahwa sistem otonomi pemerintahan daerah itu justru dapat menimbulkan otoritarianisme pemerintahan lokal di seluruh Indonesia. Para pejabat daerah yang sebelumnya tidak memiliki banyak kewenangan dalam waktu singkat tiba-tiba mendapatkan kekuasaan dan kesempatan yang sangat besar yang dalam waktu singkat belum tentu dapat dikendalikan sebagaimana mestinya. Dalam keadaan demikian, maka sesuai dengan dalil Lord Acton bahwa ‘power tendsto corrupt and absolute power corrupts absolutely’, timbul kehawatiran bahwa iklim penindasan dan praktek-praktek kezaliman yang anti demokrasi serta praktek-praktek pelanggaran hukum dan penyalahgunaan wewenang yang pernah terjadi di tingkat pusat justru ikut beralih ke dalam praktek pemerintahan di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, otonomi daerah haruslah dipahami esensinya juga mencakup pengertian otonomi masyarakat di daerah-daerah dalam berhadapan dengan pemerintahan di daerah.


BAB II
SETRALISASI DAN DESENTRALISASI

1.      Sentralisasi
Sentralisasi adalah memusatkan seluruh wewenang kepada sejumlah kecil manajer atau yang berada di posisi puncak pada suatu struktur organisasi. Sentralisasi banyak digunakan pada pemerintahan lama di Indonesia sebelum adanya otonomi daerah. Kelemahan dari sistem sentralisasi adalah di mana seluruh keputusan dan kebijakan di daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat, sehingga waktu yang diperlukan untuk memutuskan sesuatu menjadi lama. Kelebihan sistem ini adalah di mana pemerintah pusat tidak harus pusing-pusing pada permasalahan yang timbul akibat perbedaan pengambilan keputusan, karena seluluh keputusan dan kebijakan dikoordinir seluruhnya oleh pemerintah pusat.




2.      Desentralisasi
Pengertian Desentralisasi menurut Mustari  ( 1999) adalah : Pelimpahan atau penyerahan kekuasaan atau wewenang di bidang tertentu secara vertikal dari institusi/lembaga/pejabat yang lebih tinggi kepada institusi/lembaga/fungsionaris bawahannya sehingga yang diserahi / dilimpahi kekuasaan wewenang tertentu itu berhak bertindak atas nama sendiri dalam urusan tertentu pula. Sedangkan menurut Devas, (1989), Desentralisasi  adalah “ Fungsi Pemerintahan tertentu dengan kekuasaan mengambil keputusan tertentu yang dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah yang mencakup lembaga perwakilan yang dipilih “.
Dalam hukum positif di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1974 disebutkan di dalam pasal 1 huruf b, bahwa Desentralisasi adalah penyerahan urusan Pemerintahan dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya.  Sedangkan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal 1huruf e disebutkan bahwa, Desentralisasi adalah penyerahan wewenang Pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia.   
Dari pengertian diatas, maka secara umum dapat dijelaskan bahwa Desentralisasi mengandung beberapa hal yaitu :
·         Adanya pelimpahan wewenang, penyerahan urusan dari Pemerintah pusat.
·         Adanya Daerah-Daerah yang menerima pelimpahan wewenang dari penyerahan urusan.
·         Daerah-Daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.
·         Kewenangan dari urusan yang dilimpahkan adalah kewenangan dari urusan rumah tangga Daerah yang bersangkutan.
      Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. dengan adanya desentralisasi maka muncullan otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentratlisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia. Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia dll) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dasar pemikiran yang melatarbelakanginya adalah keinginan untuk memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih dekat dengan mereka yang merasakan langsung pengaruh program dan pelayanan yang dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini akan meningkatkan relevansi antara pelayanan umum dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, sekaligus tetap mengejar tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah ditingkat daerah dan nasional, dari segi sosial dan ekonomi. Inisiatif peningkatan perencanaan, pelaksanaan, dan keuangan pembangunan sosial ekonomi diharapkan dapat menjamin digunakannya sumber-sumber daya pemerintah secara efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan lokal.
Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi itu, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana mestinya, sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat, maka diidealkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah.
Kebijakan otonomi dan desentralisasi kewenangan ini dinilai sangat penting terutama untuk menjamin agar proses integrasi nasional dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya. Karena dalam sistem yang berlaku sebelumnya, sangat dirasakan oleh daerah-daerah besarnya jurang ketidakadilan struktural yang tercipta dalam hubungan antara pusat dan daerah-daerah. Untuk menjamin agar perasaan diperlakukan tidak adil yang muncul di berbagai daerah seluruh Indonesia tidak makin meluas dan terus meningkat yang pada gilirannya akan sangat membahayakan integrasi nasional, maka kebijakan otonomi daerah ini dinilai mutlak harus diterapkan dalam waktu yang secepat-cepatnya sesuai dengan tingkat kesiapan daerah sendiri. Bahkan, TAP MPR tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah No.IV/MPR/2000 menegaskan bahwa daerah-daerah tidak perlu menunggu petunjuk dan aturan-aturan dari pusat untuk menyelenggarakan otonomi daerah itu sebagaimana mestinya. Sebelum dikeluarkannya peraturan yang diperlukan dari pusat, pemerintahan daerah dapat menentukan sendiri pengaturan mengenai soal-soal yang bersangkutan melalui penetapan Peraturan Daerah.
Setelah peraturan pusat yang dimaksud ditetapkan, barulah peraturan daerah tersebut disesuaikan sebagaimana mestinya, sekedar untuk itu memang perlu diadakan penyesuaian. Dengan demikian, kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi kewenangan tidak hanya menyangkut pengalihan kewenangan dari atas ke bawah, tetapi pada pokoknya juga perlu diwujudkan atas dasar keprakarsaan dari bawah untuk mendorong tumbuhnya kemandirian pemerintahan daerah sendiri sebagai faktor yang menentukan keberhasilan kebijakan otonomi daerah itu. Dalam kultur masyarakat kita yang paternalistik, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah itu tidak akan berhasil apabila tidak dibarengi dengan upaya sadar untuk membangun keprakarsaan dan kemandirian daerah sendiri.


BAB III
OTONOMI DAERAH

1.      Latar Belakang Otonomi Daerah
            Otonomi daerah muncul sebagai bentuk veta comply terhadap sentralisasi yang sangat kuat di masa orde baru. Berpuluh tahun sentralisasi pada era orde baru tidak membawa perubahan dalam pengembangan kreativitas daerah, baik pemerintah maupun masyarakat daerah. Ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat sangat tinggi sehingga sama sekali tidak ada kemandirian perencanaan pemerintah daerah saat itu. Di masa orde baru semuanya bergantung ke Jakarta dan diharuskan semua meminta uang ke Jakarta. Tidak ada perencanaan murni dari daerah karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak mencukupi.
            Ketika Indonesia dihantam krisis ekonomi tahun 1997 dan tidak bisa cepat bangkit, menunjukan sistem pemerintahan nasional Indonesia gagal dalam mengatasi berbagai persoalan yang ada. Ini dikarenakan aparat pemerintah pusat semua sibuk mengurusi daerah secara berlebih-lebihan. Semua pejabat Jakarta sibuk melakukan perjalanan dan mengurusi proyek di daerah. Dari proyek yang ada ketika itu, ada arus balik antara 10 sampai 20 persen uang kembali ke Jakarta dalam bentuk komisi, sogokan, penanganan proyek yang keuntungan itu dinikmati ke Jakarta lagi. Terjadi penggerogotan uang ke dalam dan diikuti dengan kebijakan untuk mengambil hutang secara terus menerus. Akibat perilaku buruk aparat pemerintah pusat ini, disinyalir terjadi kebocoran 20 sampai 30 persen dari APBN.
            Akibat lebih lanjut, adalah adanya ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat yang sangat besar. Dan otonomi daerah adalah jawaban terhadap persoalan sentralisasi yang terlalu kuat di masa orde baru. Caranya adalah mengalihkan kewenangan ke daerah. Ini berdasarkan paradigma, hakikatnya daerah sudah ada sebelum Republik Indonesia (RI) berdiri.Prinsipnya, daerah itu bukan bentukan pemerintah pusat, tapi sudah ada sebelum RI berdiri. Karena itu, pada dasarnya kewenangan pemerintahan itu ada pada daerah, kecuali yang dikuatkan oleh UUD menjadi kewenangan nasional. Semua yang bukan kewenangan pemerintah pusat, asumsinya menjadi kewenangan pemerintah daerah.Maka, tidak ada penyerahan kewenangan dalam konteks pemberlakuan kebijakan otonomi daerah. Tapi, pengakuan kewenangan.
            Tahun 1999 menjadi titik awal terpenting dari sejarah desentralisasi di Indonesia. Pada masa pemerintahan Presiden Habibie melalui kesepakatan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilu 1999 ditetapkan Undang-Undang Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah untuk mengoreksi UU No.5/1974 yang dianggap sudah tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan dan perkembangan keadaan.Kedua Undang-Undang tersebut merupakan skema otonomi daerah yang diterapkan mulai tahun 2001. Undang-undang ini diciptakan untuk menciptakan pola hubungan yang demokratis antara pusat dan daerah,Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, maka aturan baru pun dibentuk untuk menggantikannya.     Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.Diharapkan dengan adanya kewenangan di pemerintah daerah maka akan membuat proses pembangunan, pemberdayaan dan pelayanan yang signifikan. Prakarsa dan kreativitasnya terpacu karena telah diberikan kewenangan untuk mengurusi daerahnya. Sementara di sisi lain, pemerintah pusat tidak lagi terlalu sibuk dengan urusan-urusan domestik. Ini agar pusat bisa lebih berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro strategis serta lebih punya waktu untuk mempelajari, memahami, merespons, berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat darinya.
2.      Pengertian Otonomi Derah
Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri dan namos yang berarti Undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (Bayu Suryaninrat; 1985).
Beberapa pendapat ahli yang dikutip Abdulrahman (1997) mengemukakan bahwa :
a.       F. Sugeng Istianto, mengartikan otonomi daerah sebagai hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah.
b.      Ateng Syarifuddin, mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu terwujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
c.       Syarif Saleh, berpendapat bahwa otonomi daerah adalah hak mengatur dan memerintah daerah sendiri. Hak mana diperoleh dari pemerintah pusat.
Pendapat lain dikemukakan oleh Benyamin Hoesein (1993) bahwa otonomi daerah adalah pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu Negara secara informal berada di luar pemerintah pusat. Sedangkan Philip Mahwood (1983) mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah suatu pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan sendiri yang keberadaannya terpisah dengan otoritas yang diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasikan sumber sumber material yang substansial tentang fungsi-fungsi yang berbeda.
Dengan otonomi daerah tersebut, menurut Mariun (1979) bahwa dengan kebebasan yang dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat inisiatif sendiri, mengelola dan mengoptimalkan sumber daya daerah. Adanya kebebasan untuk berinisiatif merupakan suatu dasar pemberian otonomi daerah, karena dasar pemberian otonomi daerah adalah dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan setempat.
Kebebasan yang terbatas atau kemandirian tersebut adalah wujud kesempatan pemberian yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, hak dan kewajiban serta kebebasan bagi daerah untuk menyelenggarakan urusan-urusannya sepanjang sanggup untuk melakukannya dan penekanannya lebih bersifat otonomi yang luas. Pendapat tentang otonomi di atas, juga sejalan dengan yang dikemukakan Vincent Lemius (1986) bahwa otonomi daerah merupakan kebebasan untuk mengambil keputusan politik maupun administrasi, dengan tetap menghormati peraturan perundang-undangan. Meskipun dalam otonomi daerah ada kebebasan untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah, tetapi dalam kebutuhan daerah senantiasa disesuaikan dengan kepentingan nasional, ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Terlepas dari itu pendapat beberapa ahli yang telah dikemukakan di atas, dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Beranjak dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah pada prinsipnya mempunyai tiga aspek, yaitu :
·      Aspek Hak dan Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
·      Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari pemerintahan di atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan nasional.
·      Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai perlimpahan kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama kemampuan menggali sumber pembiayaan sendiri.
            Yang dimaksud dengan hak dalam pengertian otonomi adalah adanya kebebasan pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangga, seperti dalam bidang kebijaksanaan, pembiyaan serta perangkat pelaksanaannnya. Sedangkan kewajban harus mendorong pelaksanaan pemerintah dan pembangunan nasional. Selanjutnya wewenang adalah adanya kekuasaan pemerintah daerah untuk berinisiatif sendiri, menetapkan kebijaksanaan sendiri, perencanaan sendiri serta mengelola keuangan sendiri.
            Dengan demikian, bila dikaji lebih jauh isi dan jiwa undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, maka otonomi daerah mempunyai arti bahwa daerah harus mampu :
a)      Berinisiatif sendiri yaitu harus mampu menyusun dan melaksanakan   kebijaksanaan sendiri.
b)      Membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya.
c)      Menggali sumber-sumber keuangan sendiri.
d)     Memiliki alat pelaksana baik personil maupun sarana dan prasarananya.
3.      Dasar Hukum
Otonomi daerah berpijak pada dasar Perundang-undangan yang kuat, yakni :
a.       Undang-undang Dasar Sebagaimana telah disebut di atas Undang-undang Dasar 1945 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Pasal 18 UUD menyebutkan adanya pembagian pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah.
b.      Ketetapan MPR-RI Tap MPR-RI No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah : Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta perimbangan kekuangan Pusat dan Daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c.       Undang-Undang
Undang-undang N0.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas Desentralisasi. Hal-hal yang mendasar dalam UU No.22/1999 adalah mendorong untuk pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD. Diperbaharui lagi oleh UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya diperbaharui oleh UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Dari beberapa dasar perundang-undangan tersebut di atas tidak diragukan lagi bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah memiliki dasar hukum yang kuat. Tinggal permasalahannya adalah bagaimana dengan dasar hukum yang kuat tersebut pelaksanaan Otonomi Daerah bisa dijalankan secara optimal.
4.      Pokok-Pokok Pikiran Otonomi Daerah
Isi dan jiwa yang terkandung dalam pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya menjadi pedoman dalam penyusunan Undang-undang yang membahas tentang otonomi daerah dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
a.       Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip-prinsip pembagian kewenangan berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b.      Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah propinsi, sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah Kabupaten dan daerah Kota. Daerah yang dibentuk dengan asas desentralisasi berwenang untuk menentukan dan elaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
c.       Pembagian daerah diluar propinsi dibagi habis ke dalam daerah otonom. Dengan demikian, wilayah administrasi yang berada dalam daerah Kabupaten dan daerah Kota dapat dijadikan Daerah Otonom atau dihapus.
5.      Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah
Berdasar pada UU No.32/2004, prinsip-prinsip pelaksanaan Otonomi Daerah adalah sebagai berikut :
a.       Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek-aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
b.      Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI sebagaimana dimaksud dalam UUD RI Tahun 1945.
c.       Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan Konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
d.      Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom.
e.       Kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain seperti Badan Otorita, Kawasan Pelabuhan, Kawasan Pertambangan, Kawasan Kehutanan, Kawasan Perkotaan Baru, Kawasan Wisata dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan Daerah Otonom secara khusus dan bagi kepentingan nasional.
f.       Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
g.      Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk memelaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah.
h.      Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.
6.      Tujuan Otonomi Daerah
            Tujuan utama dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah antara lain adalah membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan daerah. Dengandemikian, pusat berkesempatan mempelajari, memahami, merespon berbagai kecenderunganglobal dan mengambil manfaat daripadanya. Pada saat yang sama pemerintah pusat diharapkanlebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro (luas atau yang bersifat umumdan mendasar) nasional yang bersifat strategis. Di lain pihak, dengan desentralisasi daerah akanmengalami proses pemberdayaan yang optimal. Kemampuan prakarsa dan kreativitas pemerintahdaerah aka terpacu, sehingga kemampuannya dalam mengatasi berbagai masalah yang terjadi didaerah akan semakin kuat.
Adapun tujuan pemberian otonomi daerah kepada daerah adalah sebagai berikut
·         Peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semaikn baik 
·         Pengembangan kehidupan demokrasi
·         Keadilan.
·         Pemerataan
·         Pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah
·         Mendorong untuk memberdayakan masyarakat
·         Menimbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat,mengembangakan peran dan fungsi DPRD.
                              

BAB VI
PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

Otonomi Daerah di Indonesia dimulai dengan bergulirnya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 2005 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang secara praktis efektif dilaksanakan sejak 1 Januari 2001. Diperbaharui lagi dengan UU No 32 Tahun 2004 yang selanjutnya diperbaharui oleh UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi Daerah menurut UU ini adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Tahap ini merupakan fase pertama dari pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Fase kedua Otonomi Daerah ditandai dengan adanya reformasi dalam kebijakan keuangan negara melalui penetapan tiga peraturan di bidang keuangan negara. Ketiga peraturan tersebut adalah UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Telah lebih dari 12 tahun reformasi sistem pemerintahan tersebut berjalan dengan berbagai kendala yang mengiringinya serta pro dan kontra. Berbagai usaha pun dilakukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan sistem tersebut. Salah satu upaya tersebut adalah dengan melakukan amandemen UU Otonomi Daerah. Proses ini merupakan awal dari fase ketiga dalam proses Otonomi Daerah di Indonesia. UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 masing-masing digantikan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Selanjutnya diperbaharui oleh UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi Daerah menurut UU ini adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Otonomi yang berasal dari kata autonomos (bahasa Yunani)  mempunyai pengertian mengatur diri sendiri. Pada hakekatnya otonomi daerah adalah upaya untuk mensejahterakan masayarakat  melalui pemberdayaan potensi daerah secara optimal. Makna otonomi daerah adalah daerah mempunyai hak , wewenang dan kewajiban untuk mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan peundang-undangan yang berlaku (Pusat Bahasa , 2001 : 805). Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 menyebutkan bahwa kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan . Aspek “ prakarsa sendiri “ dalam otonomi daerah memberikan  “roh” pada penyelenggaraan pembangunan daerah yang lebih  participatory. Tanpa upaya untuk menumbuh-kembangkan prakarsa setempat, otonomi daerah yang diharapkan dapat memberikan nuansa demokratisasi pembangunan daerah, akan kehilangan makna terpentingnya.
Otonomi yang luas sebenarnya merupakan penjabaran dari desentralisasi secara utuh. Idealnya pelaksanaan otonomi yang luas harus disertai pula dengan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat, penggalian potensi dan keanekaragaman  daerah yang difokuskan pada peningkatan ekonomi di tingkat kabupaten dan kotamadia.
Implementasi otonomi daerah dapat dilihat dari bebagai segi yaitu pertama, dilihat dari segi wilayah (teritorial) harus berorientasi pada pemberdayaan dan penggalian potensi daerah. Kedua, dari segi struktur tata pemerintahan berorientasi pada pemberdayaan pemerintah daerah dalam mengelola sumber-sumber daya yang dimilikinya secara bertanggung jawab dan memegang prinsip-prinsip kesatuan negara dan bangsa. Ketiga, dari segi kemasyarakatan berorientasi pada pemberdayaan dan pelibatan  masyarakat dalam pembangunan di berbagai daerah sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Undang-undang dan peraturan tentang otonomi daerah sudah disusun sejak Indonesia merdeka .Hal ini menunjukkan bahwa para pemimpin negara dari jaman Orde Lama, Orde Baru sampai pemimpin negara  saat ini sudah memikirkan betapa penting otonomi daerah mengingat wilayah Indonesia yang demikian luas yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Pemberian otonomi kepada daerah pada dasarnya merupakan upaya pemberdayaan dalam rangka mengelola pembangunan di daerahnya. Daerah diharapkan sedikit demi sedikit mampu melepaskan ketergantungannya terhadap bantuan pemerintah pusat dengan cara  meningkatkan kreativitas,  meningkatkan inovasi dan meningkatkan kemandiriannya. Bila  pelaksaan otonomi daerah sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang telah disusun, maka harapan indah untuk mewujudkan “daerah membangun“ (bukan   “membangun daerah”), dapat segera tercapai. Otonomi daerah memberikan harapan cerah kepada daerah  untuk lebih meningkatkan dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka memberikan efektifitas pelayanan kepada masyarakat .Hal  lain yang tidak kalah penting adalah daerah dapat melaksnakan fungsi-fungsi pembangunan serta mengembangkan prakarsa masyarakat secara demokratis , sehingga sasaran pembangunan diarahkan dan disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan yang ada di daerah.
Pada kenyataannya sangat ironis bila pelaksanaan dan penerapan otonomi daerah sejak Orde Lama, Orde Baru dan  sampai saat ini  tidak pernah tuntas. Berbagai faktor penyebab pelaksanaan otonomi daerah yang tidak mulus adalah karena distorsi kepentngan-kepentingan politik penguasa yang menyertai penerapan otonomi daerah sehingga penguasa cenderung tetap melaksanakan pemerintahan secara sentralistik dan otoriter. Selain itu kepentingan-kepentingan politik para pemimpin negara untuk memerintah dan berkuasa secara absolut dengan mempolitisir otonomi daerah mengakibatkan otonomi daerah semakin tidak jelas tujuannya. Suatu contoh yaitu  pada masa pemerintahan presiden Suharto telah ditetapkan proyek percontohan untuk menerapkan otonomi daerah di 26 daerah tingkat II berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, tetapi tidak ada hasilnya.
Penerapan otonomi daerah melalui Undang-undang  Nomor 32 Tahun 2004 saat ini masih mencari bentuk, karena sikap pemerintah yang masih “ mendua “. Di satu pihak pemerintah sadar bahwa otonomi daerah sudah sangat mendesak untuk segera dilaksanakan secara tuntas, tetapi di lain pihak pemerintah juga berusaha tetap mengendalikan daerah secara kuat pula. Hal ini terlihat pada kewenangan-kewenangan yang cukup luas yang masih  ditangani pemerintah terutama yang sangat potensial sebagai sumber keuangan. Selain itu kewenangan pemerintah yang lain , yang juga dapat mengancam pelaksanaan otonomi daerah adalah otoritas pemerintah untuk mencabut otonomi yang  telah diberikan kepada daerah.  Selama kurang lebih empat tahun sejak dicanangkannya otonomi daerah di Indonesia, pemberdayaan daerah yang gencar diperjuangkan pada kenyataannya belum dilaksanakan secara optimal. Pembangunan di daerah kurang memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Keputusan-keputusan pemerintah serta program-program pembangunan tidak menyertakan masyarakat, sehingga program-program pembangunan di daerah cenderung masih bersifat top  down  daripada bottom up planning.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar otonomi daerah dapat terwujud. Pertama, harus disadari bahwa otonomi daerah harus selalu diletakkan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah merupakan suatu subsistem dalam satu  sistem pemerintahan yang utuh. Kedua, perlu kemauan politik (political will)  dari semua pihak seperti  pemerintah pusat, pemerintah daerah dan  masyarakat. Kemauan politik dari semua pihak dapat memperkuat tujuan untuk membangun masyarakat Indonesia secara keseluruhan melalui pembangunan-pembangunan daerah. Kemauan politik ini diharapkan dapat membendung  pemikiran  primordial, parsial, etnosentris dan sebagainya. Ketiga, komitmen yang tinggi dari berbagai pihak yang berkepentingan sangat dibutuhkan agar pelaksanaan otonomi daerah dapat tercapai tujuannya.

BAB V
MASALAH YANG MUNCUL
SETELAH PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

Implementasi Otonomi daerah bukan tanpa masalah.  Ia melahirkan banyak persoalan ketika diterjemahkan di lapangan. Banyaknya permasalahan yang muncul menunjukan implementasi kebijakan ini menemui kendala-kendala yang harus selalu dievakuasi dan selanjutnya disempurnakan agar tujuannya tercapai. Beberapa persoalan itu adalah:
1.      Kewenangan yang tumpang tindih
Pelaksanaan otonomi daerah masih kental diwarnai oleh kewenangan yang tumpang tindih antar institusi pemerintahan dan aturan yang berlaku, baik antara aturan yang lebih tinggi atau aturan yang lebih rendah. Peletakan kewenangan juga masih menjadi pekerjaan rumah dalam kebijakan ini. Apakah kewenangan itu ada di kabupaten kota atau provinsi. Dengan pemberlakuan otonomi daerah yang mendadak mengejutkan pihak-pihak daerah yang tidak memiliki sumber daya manusia kualitatif.Terjadilah artikulasi otonomi daerah kepada aspek-aspek finansial tanpa pemahaman substatife yang cukup terhadap hakekat otonomi itu sendiri.
2.      Anggaran
Banyak terjadi keuangan daerah tidak mencukupi sehingga menghambat pembangunan. Sementara pemerintah daerah lemah dalam kebijakan menarik investasi di daerah. Di sisi yang lain juga banyak terjadi persoalan kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan APBD yang merugikan rakyat. Dalam otonomi daerah, paradigma anggaran telah bergeser ke arah apa yang disebut dengan anggaran partisipatif. Tapi dalam prakteknya, keinginan masyarakat akan selalu bertabrakan dengan kepentingan elit sehingga dalam penetapan anggaran belanja daerah, lebih cenderung mencerminkan kepentingan elit daripada kepentingan masyarakat.
3.      Pelayanan Publik
Masih rendahnya pelayanan publik kepada masyarakat. Ini disebabkan rendahnya kompetensi PNS daerah dan tidak jelasnya standar pelayanan yang diberikan. Belum lagi rendahnya akuntabilitas pelayanan yang membuat pelayanan tidak prima. Banyak terjadi juga Pemerintah daerah mengalami kelebihan PNS dengan kompetensi tidak memadai dan kekurangan PNS dengan kualifikasi terbaik. Di sisi yang lain tidak sedikit juga gejala mengedepankan ”Putra Asli Daerah” untuk menduduki jabatan strategis dan mengabaikan profesionalitas jabatan.
4.      Politik Identitas Diri
Menguatnya politik identitas diri selama pelaksanaan otonomi daerah yang mendorong satu daerah berusaha melepaskan diri dari induknya yang sebelumnya menyatu. Otonomi daerah dibayang-bayangi oleh potensi konflik horizontal yang bernuansa etnis. Atau dapat dikatakan Bangkitnya egiosemtrisme ditiap daerah.
5.      Orientasi Kekuasaan
Otonomi daerah masih menjadi isu pergeseran kekuasaan di kalangan elit daripada isu untuk melayani masyarakat secara lebih efektif. Otonomi daerah diwarnai oleh kepentingan elit lokal yang mencoba memanfaatkan otonomi daerah sebagai momentum untuk mencapai kepentingan politiknya dengan cara memobilisasi massa dan mengembangkan sentimen kedaerahan seperti ”putra daerah” dalam pemilihan kepala daerah.
6.      Lembaga Perwakilan
Meningkatnya kewenangan DPRD ternyata tidak diikuti dengan terserapnya aspirasi masyarakat oleh lembaga perwakilan rakyat. Ini disebabkan oleh kurangnya kompetensi anggota DPRD, termasuk kurangnya pemahaman terhadap peraturan perundangan. Akibatnya meski kewenangan itu ada, tidak berefek terhadap kebijakan yang hadir untuk menguntungkan publik. Persoalan lain juga adalah banyak terjadi campur tangan DPRD dalam penentuan karir pegawai di daerah.
7.      Pemekaran Wilayah
Pemekaran wilayah menjadi masalah sebab ternyata ini tidak dilakukan dengan grand desain dari pemerintah pusat. Semestinya desain itu dengan pertimbangan utama guna menjamin kepentingan nasional secara keseluruhan. Jadi prakarsa pemekaran itu harus muncul dari pusat. Tapi yang terjadi adalah prakarsa dan inisiatif pemekaran itu berasal dari masyarakat di daerah. Ini menimbulkan problem sebab pemekaran lebih didominasi oleh kepentingan elit daerah dan tidak mempertimbangkan kepentingan nasional  secara keseluruhan.

8.      Pilkada Langsung
Pemilihan kepala daerah secara langsung di daerah ternyata menimbulkan banyak persoalan. Pilkada langsung sebenarnya tidak diatur di UUD, sebab yang diatur untuk pemilihan langsung hanyalah presiden. Pilkada langsung menimbulkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan suksesi kepemimpinan ini. Padahal kondisi sosial masyarakat masih terjebak kemiskinan. Disamping itu, pilkada langsung juga telah menimbulkan moral hazard yang luas di masyarakat akibat politik uang yang beredar. Tidak hanya itu pilkada langsung juga tidak menjamin hadirnya kepala daerah yang lebih bagus dari sebelumnya.


BAB VI
WACANA PROVINSI CIREBON

A.    LATAR BELAKANG
Pemekaran wilayah merupakan fenomena yang mengiringi penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Sebagian besar daerah yang mengalami pemekaran berada di wilayah luar Pulau Jawa. Sejak awal reformasi hingga akhir 2008, pertambahan daerah otonom di Indonesia sudah mencapai 203 buah. Jumlah itu terdiri dari 7 provinsi, 163 kabupaten dan 33 kota. Bahkan dalam triwulan akhir tahun 2008, telah disetujui 12 daerah otonom baru. Sehingga, jumlah daerah otonom di Indonesia menjadi 522 buah, yang terdiri dari 33 provinsi, 297 kabupaten dan 92 kota. Jika dibandingkan dengan negara tetangga Filipina, jumlah provinsi di Indoensia memang relatif lebih sedikit. Filipina hingga tahun 2002, memiliki 79 provinsi dari jumlah penduduk sebesar 86.241.697 jiwa dan luas daratan diperkirakan 300.000 km.
Banyak para ahli mengingatkan, banyaknya komplikasi yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan pemekaran di Indonesia, maka persetujuan untuk dapat melakukan pemekaran di masa mendatang perlu dilakukan secara ketat dan sangat hati-hati. Untuk keperluan ini, maka kebijakan pertama yang perlu dilakukan adalah menentukan jumlah provinsi, serta kabupaten/kota yang dapat dimekarkan sampai tahun 2025 mendatang. Kajian ini perlu dilakukan agar pengambil keputusan, baik eksekutif maupun legislatif, dapat menentukan sampai jumlah berapa sebaiknya pemekaran daerah dapat dilakukan di Indonesia pada tahun 2025 mendatang. Khusus untuk kajian bidang sosial ekonomi, maka jumlah provinsi maksimum untuk Indonesia sampai tahun 2025 mendatang adalah tidak lebih dari 39 provinsi. Jumlah provinsi yang telah ada di Indonesia sampai tahun 2009 adalah 33 provinsi. Dengan demikian, masih terdapat peluang untuk melakukan pemekaran daerah baru sebanyak enam provinsi lagi sampai tahun 2025 mendatang.
Seperti yang diberitakan pembentukan Provinsi Cirebon merupakan hasil musyawarah masyarakat di wilayah III Cirebon yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 untuk mengatur mekanisme persayaratan administrasi dalam membentuk provinsi baru, serta peraturan Perundang – undangan terkait lainnya, dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK). Dalam rangka membangun kebersamaan dari berbagai unsur elemen masyarakat di wilayah III Cirebon yaitu Kota Cirebon, Kab. Cirebon Kab. Indramayu, Kab. Majalengka dan Kab.Kuningan (Ciayumajakuning), untuk saling bahu membahu demi eksistensi masyarakat wilayah III Cirebon di masa yang akan datang.

B.     PENDAPAT YANG KONTRA
Usulan pemekaran yang terjadi sekarang lebih banyak karena prakarsa maupun pernyataan orang tertentu. Jumlah terbanyak usulan pemekaran daerah selama ini berasal dari Legislatif/kepala derah. Kenyataannya, keinginan atau usulan pemekaran daerah selama ini minim dari kajian yang semestinya dilakukan. Keinginan memekarkan wilayah sekarang ini sangat elitis dan cenderung dipolitisir. Akibatnya, tujuan pemekaran wilayah itu lebih banyak akibat ambisi kekuasan para elite. Pemekaran wilayah menjadi alat tawar menawar antara masyarakat dengan tokoh yang ingin menjadi pemimpin di wilayah baru itu.
Mantan Menteri Keuangan Sri MuIyani merasa prihatin jika lahirnya provinsi, kabupaten serta kota yang baru mengakibatkan ratusan miliar rupiah habis untuk membangun kantor bupati, gubernur serta wall kota yang baru disertai kantor DPRD yang baru hingga pembuatan baju seragam yang baru. "Saya sering diminta oleh bupati dan wali kota baru untuk membantu membangun kantor perbendaharaan negara yang baru dan kemudian kantor jaksa, polisi yang baru,akibat pemekaran itu. Pada hal seharusnya dana itu dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta memperbaiki pelayanan publik," kata Sri Mulyani. .(Pikiran Rakyat,23/02/2009)
Menurut Pakar Otonomi Daerah Eko Prasojo (2007) Pemekaran memang tidak boleh diharamkan, tetapi pemekaran yang tidak tepat menyebabkan inefisiensi penggunaan keuangan negara. Sebab bagaimanapun, kekuatan keuangan negara untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah memiliki keterbatasan. Problem pemekaran terjadi karena kepentingan politik elite lebih menonjol daripada kepentingan kesejahteraan masyarakat. Secara politis, pemekaran juga diartikan sebagai "pembukaan" lapangan pekerjaan politik menjadi anggota DPRD dan lapangan jabatan baru lain yang muncul sebagai konsekuensi terbentuknya daerah otonom.
Pemekaran juga sekaligus membuat konfigurasi baru kekuatan partai politik di daerah yang dimekarkan yang bisa saja berbeda dengan daerah induknya. Terkait dengan implementasi kebijakan PP 129/2000, bisa dikatakan bahwa persetujuan politik pemekaran daerah sering berada "dalam ruang gelap". Ukuran persetujuan lebih sering dilakukan secara administratif oleh tim konsultan, sedangkan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah tidak berdaya untuk menolak pemekaran. Prosedur pemekaran daerah (OTDA ) pun diusulkan sebaiknya berasal dari pemerintah dan tidak dari DPR, sehingga pembahasan terhadap kelayakan bersama dengan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) dapat dilakukan dengan baik berdasarkan data dan informasi yang tersedia dari kementerian terkait. Pengusulan itu pun harus memenuhi persyaratan administrasi susuai dengan ketentuan yang berlaku yang menyangkut dengan surat persetujuan dari pihak yang berwenang seperti DPRD dan kepala daerah yang bersangkutan.
Sementara semakin jauh dari ibu kota daerah maka akan semakin tertinggal pula daerah itu, sehingga para elite dari masyarakat yang berada di daerah yang tertinggal itu berupaya untuk menghadirkan pemerintahan sendiri. Ketiga, dan ini sering tidak diungkap sebagai alasan tertulis, adalah upaya untuk bagi-bagi kekuasaan di tingkat lokal. Perputaran elite di tingkat yang begitu lambat, bahkan sejumlah elite daerah yang sudah keenakan di kursi kekuasaan dan jabatan, terus mempertahankannya dengan berbagai cara, sehingga muncul kecemburuan dari para elite lain yang juga haus kekuasaan. Alasan pertama dan kedua tentu saja dapat kita benarkan baik secara sosiologis maupun secara yuridis, sedangkan alasan ketiga yang mendominasi munculnya daerah-daerah pemekaran baru adalah sebuah dosa politik yang dilakukan oleh elit politik terhadap rakyatnya. Sebuah kesalahan memaknai otonomi daerah.
Konflik di antara para elite lokal itu dalam memperebutkan kekuasaan dan jabatan sering tak bisa dihindari, termasuk di dalamnya melibatkan rakyat (arus bawah) dalam wujud konflik horizontal (antara lain terbukti pada kasus Mamassa, Sulawesi Selatan, dan Morowali, Sulawesi Tengah,Tapanuli Utara dll). Akibatnya, dengan berbagai cara pula berupaya memekarkan daerah sehingga bisa memperoleh jabatan atau kekuasaan di daerah baru itu. Apalagi bagi mereka yang sudah berjasa dalam memperjuangkan daerah pemekaran, sudah memosisikan diri sebagai pihak yang harus dapat bagian jatah kursi jabatan atau politik dan kekuasaan di daerah baru itu. Pemekaran Daerah telah menguras enerji Pemerintah Provinsi dan prosesnya sering menimbulkan ketidakstabilan daerah.
Pemekaran sering kurang memperhatikan aspek kemampuan daerah (yang akan dimekarkan). Sebaiknya ketentuan tentang pemekaran harus lebih mengedepankan faktor-faktor yang dimiliki daerah yang berkaitan langsung dengan kemampuan daerah pemekaran untuk menyelenggarakan pelayanan publik lebih baik dibandingkan dengan daerah induknya. Pemekaran saat ini lebih tinggi bobot politiknya daripada aspek kondisi obyektif daerah. Harus ada audit independent yang komprehensif yang mengevaluasi kelayakan pemekaran dan ada masa transisi untuk pemekaran yang diawasi oleh daerah induk. Setelah menunjukkan kinerja yang baik baru dimekarkan.
Pemekaran daerah otonom baru dalam implementasinya memang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta menciptakan daerah makin mandiri dandemokratis.Namun,  Tujuan ini dapat diwujud nyatakan melalui peningkatan profesionalisme birokrat daerah untuk dapat menyelenggarakan pemerintahan yang efisien dan efektif, dapat meningkatkan pelayanan dasar publik, dapat menciptakan kesempatan lebih luas untuk masyarakat, serta dapat akses langsung pada unitunit pelayanan publik yang tersebar dan mudah dijangkau oleh masyarakat pedesaan maupun kota.
Ratarata tingkat kesejahteraan masyarakat di Daerah Otonom Baru (DOB) sebelum pemekaran umumnya lebih sejahtera dibandingkan ratarata Daerah Induknya, akan tetapi perkembangan peningkatan kesejahteraan ini semakin menurun. Hal ini ditunjukan dengan pertumbuhan ekonominya semakin terkejar oleh pertumbuhan ekonomi di Daerah Induknya. Artinya perkembangan kinerja di DOB relative tidak lebih baik dibandingkan perkembangan kinerja di daerah Induknya. Pemekaran daerah juga berdampak negatif terhadap APBN dan APBD Provinsi. Berbagai konsekuensi biaya pemekaran, diantaranya: berkurangnya ratarata DAU tiap daerah, total DAK prasarana dari APBN meningkat tapi DAK tiap daerah menurun, pembiayaan instansiinstansi vertikal di daerah, pembiayaan saranasarana pelayanan umum, dana pendamping DAK dari APBD, serta dana bantuan dari APBD Provinsi induk. Selama 3 tahun terakhir, ratarata beban biaya provinsi baru, tiap tahun sekitar Rp 56 Milliar.  Mekanisme insentif perlu diciptakan bagi daerah otonom baru yang kinerjanya kurang baik dibandingan sebelum pemekaran, serta bersedia untuk digabungkan kembali dengan daerah induk, misalnya gunakan dana penyesuaian untuk pembiayaan insentif fiskal mendorong penggabungan. Mekanisme disinsentif bagi daerah yang ingin melakukan pemekaran daerah otonom baru sebenarnya mudah diterapkan, asalkan mekanisme pembentukan/pemekaran daerah otonom baru sesuai aturan yang berlaku, yaitu sebagaimana dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 serta dalam PP 78 tahun 2007, dimana pembentukan daerah harus memenuhi persyaratan administratif, teknis dan fisik kewilayahan. Hasil survei menunjukkan semua daerah pemekaran baru tidak mempunyai dokumentasi mengenai berbagai indikator teknis, serta batas fisik yang masih diperdebatkan antara Daerah Induk dan daerah Otonom Baru.( Analisis manfaat dan biaya pemekaran derah, Departemen Keuangan RI Ditjen Perimbangan Keuangan Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal Tahun 2008) Begitu juga, persyaratan administratif masih dipertanyakan.
Dari hasil kajian dan anlisis tersebut, banyak sekali yang menyaranakn dilakukan moratorium pemekaran daerah, serta penerapan mekanisme pembentukan/pemekaran daerah otonom baru sesuai aturan yang berlaku, yaitu harus memenuhi persyaratan administratif, teknis dan fisik kewilayahan.





DAFTAR PUSTAKA
-          Proceeding workshop nasional Penguatan Pelaksanaan Kebijakan Desentralisasi Fiskal di Jakarta, 67 Desember 2006. Departemen Keuangan, Jakarta.
-          Tuerah, N. 2006. Analisis Pemekaran Daerah Terhadap Pelayanan Publik.” Jakarta
-          Statuta Pembentukan Provinsi Cirebon. 2009 ‘ hasil kajian dan tata Ruang’. P3C.Cirebon
-          Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.
-          Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
-          Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
-          Undang-undang No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
-          Prof.Drs. HAW. Widjaja, , 2005, penyelenggaraan otonomi daerah di indonesia, Palembang : Rajawali Pers
-          Mubyarto, 2000, Pemulihan Ekonomi Rakyat Menuju Kemandirian Masyarakat Desa, Yogyakarta : Aditya Media.
-          Mubyarto, 2001, Prospek Otonomi Daerah dan Perekonomian Indonesia Pasca Krisis, Yogyakarta : BPFE.
-          Nugroho D., Riant, 2000, Otonomi Daerah Desentralisasi Tanpa Revolusi : Kajian dan Kritik atas Kebijakan Desentralisasi di Indonesia.Jakarta : PT Elex Media Kompetindo

0 comments:

Post a Comment