BAB
I
KEKUASAAN
DAN KEWENANGAN DALAM OTONOMI DAERAH
Membicarakan otonomi daerah tidak bisa terlepas dari masalah
pembagian kekuasaan secara vertikal suatu negara. Dalam sistem ini, kekuasaan
negara akan terbagi antara ‘pemerintah pusat’ disatu pihak, dan ‘pemerintah
daerah’ di lain pihak.
Sistem pembagian kekuasaan dalam rangka penyerahan kewenangan otonomi daerah, antara negara yang satu dengan negara yang lain, tidak akan sama, termasuk Indonesia yang kebetulan menganut sistem Negara Kesatuan. Inti yang terpenting dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah terdapatnya keleluasaan pemerintah daerah (discretionery power) untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas dan peran-serta aktif masyarakat dalam rangka mengembangkan dan memajukan daerahnya. Memberikan otonomi daerah tidak hanya berarti melaksanakan demokrasi dilapisan bawah, tetapi juga mendorong oto-aktivitas untuk melaksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi lingkungan sendiri.
Sistem pembagian kekuasaan dalam rangka penyerahan kewenangan otonomi daerah, antara negara yang satu dengan negara yang lain, tidak akan sama, termasuk Indonesia yang kebetulan menganut sistem Negara Kesatuan. Inti yang terpenting dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah terdapatnya keleluasaan pemerintah daerah (discretionery power) untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas dan peran-serta aktif masyarakat dalam rangka mengembangkan dan memajukan daerahnya. Memberikan otonomi daerah tidak hanya berarti melaksanakan demokrasi dilapisan bawah, tetapi juga mendorong oto-aktivitas untuk melaksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi lingkungan sendiri.
Dengan berkembangnya pelaksanaan demokrasi dari bawah, maka
rakyat tidak saja dapat menentukan nasibnya sendiri melalui pemberdayaan
masyarakat, melainkan juga dan terutama memperbaiki nasibnya sendiri. Hal itu
hanya mungkin terjadi, apabila pemerintahan pusat mempunyai kesadaran dan keberanian
politik, serta kemauan politik yang kuat untuk memberikan kewenagan yang cukup
luas kepada pemerintah daerah guna mengatur dan mengurus serta mengembangkan
daerahnya, sesuai dengan kepentingan dan potensi daerahnya.
Kewenagan
artinya keleluasan untuk menggunakan dana, baik yang berasal dari daerah maupun
dari pusat sesuai dengan keperluan daerahnya tanpa campur tangan pusat,
keleluasaan untuk menggali sumber-sumber potensial yang ada didaerahnya serta
menggunakannya sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerahnya; keleluasaan
untuk memperoleh dana perimbangan keuangan pusat-daerah yang memadai, yang
didasarkan atas kriteria objektif dan adil.
Pada dasarnya partisipasi masyarakat pada pelaksanaan
otonomi daerah harus dimengerti sebagai wujud representativeness dari suatu
produk kebijakan. Pendapat umum mengakui bahwa pemerintahan yang sentralistik
semakin kurang populer, karena ketidakmampuanya untuk memahami secara tepat
nilai-nilai daerah atau sentimen aspirasi lokal. Alasannya, warga masyarakat
akan lebih akam dan tentram dengan badan pemerintah lokal yang lebih dekat
dengan rakyat, baik secara fisik maupun psikologis (Bonne Rust, 1968). Selain
dari pada itu, memberikan keleluasan otonomi kepada daerah, diakuinya pula,
tidak akan menimbulkan "disintegrasi", dan tidak akan menurunkan
derajat kewibaan pemerintah nasional, malah sebaliknya akan menimbulkan respek
daerah terhadap pemerintah pusat (Bryant Smith, 1986). Karena itu, ada sebuah
slogan yang sering dilancarkan : "…. as much autonomy as possible, as much
central power as necessary" (W. Buckelman, 1984). Partisipasi masyarakat
sendiri dapat diwujudkan (representative) melalui proses pemilihan (election)
yang baik (dengan penerapan konsep transparency, lihat diatas) sehingga peranan
masyarakat dapat dilihat dari perwujudan kekuatan DPRD di dalam mengontrol
pelaksanaan kebijakan oleh eksekutif.
Pembagian kekuasaan antara Pusat dan daerah dilakukan
berdasarkan prinsip negara kesatuan tetapi dengan semangat federalisme. Jenis
kekuasaan yang ditangani Pusat hampir sama dengan yang ditangani oleh
Pemerintah di negara federal, yaitu hubungan luar negeri, pertahanan dan
keamanan, peradilan, moneter, dan agama, serta berbagai jenis urusan yang
memang lebih efisien ditangani secara sentral oleh Pusat, seperti kebijakan
makro ekonomi, standarisasi nasional, administrasi pemerintahan, badan usaha
milik negara, dan pengembangan sumberdaya manusia. Semua jenis kekuasaan yang
ditangani Pusat disebutkan secara spesifik dan limitatif dalam UU tersebut.
Dalam RUU Pemda yang diajukan Pemerintah, agama termasuk yang diserahkan kepada
daerah otonom sebagai bagian dari otonomi daerah. Namun MUI menyampaikan
keberatan kepada DPR dan mendesak DPR dan Pemerintah untuk tetap menempatkan
urusan agama pada Pusat dengan alasan kuatir akan muncul daerah agama.
Selain itu, otonomi daerah yang diserahkan itu bersifat
luas, nyata dan bertanggungjawab. Disebut luas karena kewenangan sisa justru
berada pada Pusat (seperti pada negara federal); disebut nyata karena
kewenangan yang diselenggarakan itu menyangkut yang diperlukan, tumbuh dan
hidup, dan berkembang di daerah; dan disebut bertanggungjawab karena kewenangan
yang diserahkan itu harus diselenggarakan demi pencapaian tujuan otonomi
daerah, yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik,
pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan, serta pemeliharaan
hubungan yang serasi antara Pusat dan daerah dan antar daerah. Disamping itu
otonomi seluas-luasnya (keleluasaan otonomi) juga mencakup kewenangan yang utuh
dan bulat dalam penyelenggaraannya melalui perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
pengendalian dan evaluasi.
Kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom dalam rangka
desentralisasi harus pula disertai penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana
dan prasarana, dan sumber daya manusia. Karena disamping daerah otonom propinsi
juga merupakan daerah administratif, maka kewenangan yang ditangani
propinsi/gubernur akan mencakup kewenangan dalam rangka desentralisasi dan
dekonsentrasi. Kewenangan yang diserahkan kepada Daerah Otonom Propinsi dalam
rangka desentralisasi mencakup :
1. Kewenangan
yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, seperti kewenangan dalam bidang
pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan, dan perkebunan.
2. Kewenangan
pemerintahan lainnya, yaitu perencanaan dan pengendalian pembangunan regional
secara makro, pelatihan bidang alokasi sumberdaya manusia potensial, penelitian
yang mencakup wilayah Propinsi, pengelolaan pelabuhan regional, pengendalian
lingkungan hidup, promosi dagang dan budaya/pariwisata, penanganan penyakit
menular, dan perencanaan tata ruang propinsi.
3. Kewenangan
kelautan yang meliputi eksplorasi, eksploatasi, konservasi dan pengelolaan
kekayaan laut, pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata ruang,
penegakan hukum, dan bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara, dan
4. Kewenangan
yang tidak atau belum dapat ditangani daerah kabupaten dan daerah kota dan
diserahkan kepada propinsi dengan pernyataan dari daerah otonom kabupaten atau
kota tersebut.
Dalam
susunan pemerintahan di negara kita ada Pemerintah Pusat, Pemerintah
DaerahProvinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, serta Pemerintahan Desa.
Masing-masing pemerintahan tersebut memiliki hubunga yang bersifat
hierarkis. Dalam UUD Negara Indonesiatahu 1945 ditegaskan, bahwa hubungan wewenang
antara pemerintah pusat dan pemerintahandaerah provinsi, kabupaten, dan kota,
atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur denganundang-undang dengan
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah [pasal 18 A (1)].Hubungan
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnyaantara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan
secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang [pasal 18 A ayat (2)]
Berdasarkan kedua ayat tersebut dapat dijelaskan lebih spesifik
, bahwa:
a) Antar
susunan pemerintahan memiliki hubungan yang besifat hierarkis
b) Pengaturan
hubungan pemerintahan tersebut memperhatikan kekhususan dan keragamandaerah
c) Pengaturan
hubungan sebagaimana disebutkan pasal 18A ayat (1) diatur lebih lanjutdalam UU
Republik Indonesia No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
d) Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memiliki hubungan
keuangan, pelayanan umum, dan pemanfaatan sumber daya
e) Pengaturan
hubungan sebagaimana disebutkan pasal 18 ayat (2) diatur lebih lanjut dalamUU
Republik Indonesia No.33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Kewenangan provinsi diatur dalam pasal 13 UU No. 32 Tahun
2004 dapat diuraikansebagai berikut:
1. Urusan
wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah propinsi meliputi:
a) Perencanaan
dan pengendalian pembangunan
b) Perencanaan,
pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang
c) Penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
d) Penyediaan
sarana dan prasarana umum
e) Penanganan
bidang kesehatan
f) Penyelenggaraan
pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial
g) Penanggulangan
masalah sosial lintas kabupaten / kota
h) Pelayanan
bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten / kota
i)
Fasilitas pengembangan koperasi, usaha
kecil dan menengah termasuk lintaskabupaten / kota
j)
Pengendalian lingkungan hidup
k) Pelayanan
pertahanan termasuk lintas kabupaten / kota
l)
Pelayanan kependudukan, dan catatan
sipil
m) Pelayanan
administrasi umum pemerintahan
n) Pelayanan
administrasi penanaman modal,termasuk lintas kabupaten / kota
o) Penyeleggaraan
pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan olehkabupaten / kota
2. Urusan
wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan
3. Urusan
pemerintahan propinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan
yangsecara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sesuaidengan kondisi kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Kewenangan kabupaten / kota diatur dalam pasal 14 yang dapat
diuraikan sebagai berikut:
a) Perencanaan
dan pengendalian pembangunan
b) Perencanaan,
pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang
c) Penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat
d) Penyediaan
sarana dan prasarana umum
e) Penanganan
bidang kesehatan
f) Penyelengggaraan
pendidikan
g) Penangulangan
masalah social
h) Pelayanan
bidang ketenagakerjaan
i)
Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha
kecil dan menengah
j)
Pengendalian lingkungan hidup
k) Pelayanan
pertahanan
l)
Pelayanan kependudukan, dan catatan
sipil
m) Pelayanan
administrasi umum pemerintahan
n) Pelayanan
administrasi penanaman modal
o) Penyelenggaraan
pelayanan dasar lainnya
p) Urusan
wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan
Bila dicermati secara seksama, maka tampaknya kriteria yang
digunakan dalam menentukan jenis kewenangan yang diserahkan kepada daerah
otonom propinsi lebih didasarkan pada kriteria efisiensi daripada kriteria
politik. Artinya, jenis kewenangan yang dipandang lebih efisien,
diselenggarakan oleh propinsi daripada pusat ataupun kabupaten/kota. Sudah
barang tentu dengan kekecualian bagi kewenangan yang diserahkan kepada propinsi
khusus dan istimewa. Dari segi tujuan yang dicapai dengan otonomi daerah (jenis
dan jumlah kewenangan) tersebut, tampaknya pertumbuhan ekonomi dan penyediaan
infrastruktur lebih menonjol sebagai sasaran yang akan dicapai daripada
peningkatan pelayanan publik kebutuhan dasar dan kesejahteraan rakyat. Kecuali
bila pertumbuhaan ekonomi ini memang diarahkan pada penciptaan kesempatan
kerja. Peningkatan kesejahteraan rakyat mungkin akan ditangani propinsi,
semata-mata karena daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota belum mampu,
atau karena dilimpahkan pusat kepada propinsi. Akan tetapi seperti dikemukakan
pada awal tulisan ini, pekerjaan yang layak dari segi jenis dan penghasilan
bagi penduduk yang berumur kerja merupakan kunci kesejahteraan sosial. Karena
itu daerah otonom propinsi hendaknya mengarahkan pertumbuhan ekonomi kepada
penciptaan kesempatan kerja tersebut.
Desentralisasi kekuasaan kepada daerah disusun berdasarkan
pluralisme daerah otonom dan pluralisme otonomi daerah. Daerah otonom tidak
lagi disusun secara bertingkat (Dati I, Dati II, dan Desa sebagai unit
administrasi pemerintahan terendah) seperti pada masa Orde Baru melainkan
dipilah menurut jenisnya, yaitu daerah otonom propinsi, daerah otonom
kabupaten, daerah otonom kota, dan kesatuan masyarakat adat (desa atau nama
lain) sebagai daerah otonom asli. Jenis dan jumlah tugas dan kewenangan yang
diserahkan kepada daerah otonom (otonomi daerah) tidak lagi bersifat seragam
seluruhnya melainkan hanya yang bersifat wajib saja yang sama sedangkan
kewenangan pilihan diserahkan sepenuhnya kepada daerah otonom kabupaten dan
daerah otonom kota untuk memilih jenis dan waktu pelaksanaannya. Perbedaan
daerah otonom kabupaten/kota dengan daerah otonom kabupaten/kota lainnya tidak
saja terletak pada jenis kewenangan pilihan yang ditanganinya tetapi juga jenis
kewenangan wajib yang mampu ditanganinya karena bila belum mampu menanganinya
maka jenis kewenangan itu buat sementara dapat diurus oleh propinsi.
Perbedaan setiap daerah otonom propinsi terletak pada apakah
propinsi itu daerah khusus/istimewa ataukah biasa, dan apakah terdapat
kabupaten atau kota yang berada dalam wilayah propinsi itu yang belum mampu
menangani semua jenis kewenangan wajib tersebut. Di Indonesia dikenal tiga
propinsi yong berstatus khusus, yaitu DKI Jakarta (khusus karena ibukota
negara), Daerah Istimewa Aceh (dalam hal sejarah, adat istiadat dan agama), dan
Daerah Istimewa Yogyakarta (dalam hal sejarah dan kepeminpinan daerah). Bila
bercermin pada kemampuan kabupaten dan kota yang terdapat pada sejumlah
propinsi di Indonesia dewasa ini, maka untuk beberapa propinsi tersebut
seharusnya diberi kewenangan yang lebih besar daripada kabupaten dan kota.
Propinsi Irian Jaya, Kalimantan Tengah, dan Riau mungkin termasuk kedalam
kategori ini, sedangkan semua propinsi di Jawa, Sumut, Sulawesi Selatan, dan
Sulawesi Utara misalnya yang hampir semua kabupaten/kotanya sudah memiliki
kemampuan di atas rata-rata tetap mengikuti UU tersebut (kewenangan kabupaten
dan kota lebih banyak daripada propinsi). Akan tetapi pluralisme otonomi daerah
seperti ini rupanya dinilai terlalu kompleks sehingga tidak diadopsi dalam UU Pemerintahan
Daerah tersebut. Desa (Jawa), nagari (Sumbar), baniar (Bali), huta/kuta
(Batak), negeri (Maluku), gampong (Aceh), dan nama lain di daerah lain
dikembalikan statusnya sebagai kesatuan masyarakat adat yang berwenang mengurus
rumah tangganya sendiri. Desa dan kesatuan masyarakat adat lainnya itu diakui
sebagai memiliki otonomi asli, yaitu tugas dan kewenangan yang lahir
berdasarkan adat istiadat, sejarah, dan tradisi masyarakat tersebut. Kesatuan
masyarakat adat bukan lagi unit administrasi pemerintahan terendah; ia bukan lagi
perpanjangan tangan negara atau daerah otonom. Negaranisasi yang dilakukan Orde
Baru terhadap kesatuan masyarakat adat, yang menyebabkan kehancuran
kelembagaan, kemampuan, pengetahuan, dan sumberdaya lokal, hendaknya diakhiri.
Kesatuan masyarakat adat hendak dikembalikan sebagai self governing community.
Karena pada masa lalu kesatuan masyarakat adat ini cenderung menjadi korban
pengusaha kehutanan, pengusaha industri, pengusaha perumahan, dan pengusaha
industri pariwisata, maka dalam UU ini ditegaskan keharusan adanya kerjasama
antara perusahaan yang melakukan investasi di kawasan pedesaan tersebut dengan
kesatuan masyarakat adat.
Dalam rangka negara kesatuan, Pemerintah Pusat masih
memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap daerah otonom. Tetapi pengawasan
yang dilakukan pusat terhadap daerah otonom diimbangi dengan kewenangan daerah
otonom yang lebih besar, atau sebaliknya, sehingga terjadi semacam keseimbangan
kekuasaan. Keseimbangan yang dimaksud ialah seperti berikut : Pengawasan ini
tidak lagi dilakukan secara struktural, yaitu bupati dan gubernur bertindak
sebagai wakil Pusat sekaligus kepala daerah otonom, dan tidak lagi secara
preventif perundang-undangan, yaitu setiap Perda memerlukan persetujuan Pusat
untuk dapat berlaku. Menurut UU baru ini, bupati dan walikota sepenuhnya
menjadi kepala daerah otonom yang dipilih oleh dan bertanggungjawab kepada DPRD
dan dapat diberhentikan oleh DPRD pada masa jabatannya tetapi penetapan ataupun
pemberhention kepala daerah secara administratif (pembuatan Surat Keputusan)
masih diberikan kepada Presiden. Gubernur pada pihak lain masih merangkap
sebagai wakil Pusat dan kepala daerah otonom, tetapi UU baru ini menetapkan
kewenangan Pusat dan kewenangan DPRD untuk mengontrol gubemur secara seimbang.
Pengawasan Pusat terhadap daerah otonom menurut UU baru ini dilakukan
berdasarkan supremasi hukum. Artinya, setiap Perda yang dibuat oleh DPRD dan
Kepala Daerah langsung dapat berlaku tanpa memerlukan persetujuan Pemerintah.
Akan tetapi Pusat setiap saat dapat menunda atau membatalkannya bila Perda itu
dinilai bertentangan dengan Konstitusi, UU dan kepentingan umum.
Sebaliknya, bila daerah otonom (DPRD dan Kepala Daerah)
menilai justru tindakan Pusat menunda atau membatalkan itulah yang bertentangan
dengan Konstitusi, UU atau kepentingan umum, maka daerah otonom dapat
mengajukan gugatan/keberatan kepada Mahkamah Agung untuk menyelesaikan
perselisihan tersebut. Pusat dan daerah otonom harus patuh kepada keputusan MA.
Otonomi daerah kadang-kadang hanya dipahami sebagai kebijakan
yang bersifat institutional belaka yang hanya dikaitkan dengan fungsi-fungsi
kekuasaan organ pemerintahan. Oleh karena itu, yang menjadi perhatian hanyalah
soal pengalihan kewenangan pemerintahan dari tingkat pusat ke tingkat daerah.
Namun, esensi kebijakan otonomi daerah itu sebenarnya berkaitan pula dengan
gelombang demokratisasi yang berkembang luas dalam kehidupan nasional bangsa
kita dewasa ini.
Pada tingkat suprastruktur kenegaraan maupun dalam rangka
restrukturisasi manajemen pemerintahan, kebijakan otonomi daerah itu
dikembangkan seiring dengan agenda dekonsentrasi kewenangan. Jika kebijakan
desentralisasi merupakan konsep pembagian kewenangan secara vertikal, maka
kebijakan dekonsentrasi pada pokoknya merupakan kebijakan pembagian kewenangan
birokrasi pemerintahan secara horizontal. Kedua-duanya bersifat membatasi
kekuasaan dan berperan sangat penting dalam rangka menciptakan iklim kekuasaan
yang makin demokratis dan berdasar atas hukum.
Oleh karena itu, kebijakan otonomi daerah itu tidak hanya
perlu dilihat kaitannya dengan agenda pengalihan kewenangan dari Pemerintah
Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi juga menyangkut pengalihan kewenangan dari
pemerintahan ke masyarakat. Justru inilah yang harus dilihat sebagai esensi
pokok dari kebijakan otonomi daerah itu dalam arti yang sesungguhnya.
Otonomi daerah berarti otonomi masyarakat di daerah-daerah
yang diharapkan dapat terus tumbuh dan berkembang keprakarsaan dan
kemandiriannya dalam iklim demokrasi dewasa ini.Jika kebijakan otonomi daerah
tidak dibarengi dengan peningkatan kemandirian dan keprakarsaan masyarakat di
daerah-daerah sesuai tuntutan alam demokrasi, maka praktek-praktek kekuasaan
yang menindas seperti yang dialami dalam sistem lama yang tersentralisasi, akan
tetap muncul dalam hubungan antara pemerintahan di daerah dengan masyarakatnya.
Bahkan kehawatiran bahwa sistem otonomi pemerintahan daerah
itu justru dapat menimbulkan otoritarianisme pemerintahan lokal di seluruh
Indonesia. Para pejabat daerah yang sebelumnya tidak memiliki banyak kewenangan
dalam waktu singkat tiba-tiba mendapatkan kekuasaan dan kesempatan yang sangat
besar yang dalam waktu singkat belum tentu dapat dikendalikan sebagaimana
mestinya. Dalam keadaan demikian, maka sesuai dengan dalil Lord Acton bahwa ‘power
tendsto corrupt and absolute power corrupts absolutely’, timbul kehawatiran
bahwa iklim penindasan dan praktek-praktek kezaliman yang anti demokrasi serta
praktek-praktek pelanggaran hukum dan penyalahgunaan wewenang yang pernah
terjadi di tingkat pusat justru ikut beralih ke dalam praktek pemerintahan di
daerah-daerah di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, otonomi daerah haruslah
dipahami esensinya juga mencakup pengertian otonomi masyarakat di daerah-daerah
dalam berhadapan dengan pemerintahan di daerah.
BAB II
SETRALISASI DAN DESENTRALISASI
1.
Sentralisasi
Sentralisasi adalah memusatkan seluruh wewenang kepada sejumlah kecil
manajer atau yang berada di posisi puncak pada suatu struktur organisasi.
Sentralisasi banyak digunakan pada pemerintahan lama di Indonesia sebelum
adanya otonomi daerah. Kelemahan dari sistem sentralisasi adalah di mana seluruh keputusan
dan kebijakan di daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah
pusat, sehingga waktu yang diperlukan untuk memutuskan sesuatu menjadi lama. Kelebihan
sistem ini adalah di mana pemerintah pusat tidak harus pusing-pusing pada
permasalahan yang timbul akibat perbedaan pengambilan keputusan, karena seluluh
keputusan dan kebijakan dikoordinir seluruhnya oleh pemerintah pusat.
2.
Desentralisasi
Pengertian Desentralisasi menurut Mustari ( 1999)
adalah : Pelimpahan atau penyerahan kekuasaan atau wewenang di bidang tertentu
secara vertikal dari institusi/lembaga/pejabat yang lebih tinggi kepada
institusi/lembaga/fungsionaris bawahannya sehingga yang diserahi / dilimpahi
kekuasaan wewenang tertentu itu berhak bertindak atas nama sendiri dalam urusan
tertentu pula. Sedangkan menurut Devas, (1989), Desentralisasi adalah “
Fungsi Pemerintahan tertentu dengan kekuasaan mengambil keputusan tertentu yang
dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah yang mencakup lembaga perwakilan yang
dipilih “.
Dalam hukum positif di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor
05 Tahun 1974 disebutkan di dalam pasal 1 huruf b, bahwa Desentralisasi adalah
penyerahan urusan Pemerintahan dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya
kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya. Sedangkan pada
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal 1huruf e disebutkan bahwa,
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang Pemerintahan oleh Pemerintah kepada
Daerah Otonom dalam kerangka Negara kesatuan Republik
Indonesia.
Dari
pengertian diatas, maka secara umum dapat dijelaskan bahwa Desentralisasi
mengandung beberapa hal yaitu :
·
Adanya
pelimpahan wewenang, penyerahan urusan dari Pemerintah pusat.
·
Adanya
Daerah-Daerah yang menerima pelimpahan wewenang dari penyerahan urusan.
·
Daerah-Daerah
tersebut mempunyai hak dan kewajiban untuk mengurus dan mengatur rumah
tangganya sendiri.
·
Kewenangan
dari urusan yang dilimpahkan adalah kewenangan dari urusan rumah tangga Daerah
yang bersangkutan.
Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri
berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan
Republik Indonesia. dengan adanya desentralisasi maka muncullan otonomi bagi
suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam
keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan
kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia,
desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan
karena dengan adanya desentratlisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma
pemerintahan di Indonesia. Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai pengalihan
tanggung jawab, kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia dll) dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dasar pemikiran yang melatarbelakanginya
adalah keinginan untuk memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih dekat
dengan mereka yang merasakan langsung pengaruh program dan pelayanan yang
dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini akan meningkatkan relevansi
antara pelayanan umum dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, sekaligus
tetap mengejar tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah ditingkat daerah dan
nasional, dari segi sosial dan ekonomi. Inisiatif peningkatan perencanaan,
pelaksanaan, dan keuangan pembangunan sosial ekonomi diharapkan dapat menjamin
digunakannya sumber-sumber daya pemerintah secara efektif dan efisien untuk
memenuhi kebutuhan lokal.
Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan
mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di
tangan pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi itu, kekuasaan pemerintah
pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana mestinya,
sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota
di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus kekuasaan pemerintahan
bergerak dari daerah ke tingkat pusat, maka diidealkan bahwa sejak
diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan
bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah.
Kebijakan otonomi dan desentralisasi kewenangan ini dinilai
sangat penting terutama untuk menjamin agar proses integrasi nasional dapat
dipelihara dengan sebaik-baiknya. Karena dalam sistem yang berlaku sebelumnya,
sangat dirasakan oleh daerah-daerah besarnya jurang ketidakadilan struktural
yang tercipta dalam hubungan antara pusat dan daerah-daerah. Untuk menjamin
agar perasaan diperlakukan tidak adil yang muncul di berbagai daerah seluruh
Indonesia tidak makin meluas dan terus meningkat yang pada gilirannya akan
sangat membahayakan integrasi nasional, maka kebijakan otonomi daerah ini
dinilai mutlak harus diterapkan dalam waktu yang secepat-cepatnya sesuai dengan
tingkat kesiapan daerah sendiri. Bahkan, TAP MPR tentang Rekomendasi Kebijakan
dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah No.IV/MPR/2000 menegaskan bahwa
daerah-daerah tidak perlu menunggu petunjuk dan aturan-aturan dari pusat untuk
menyelenggarakan otonomi daerah itu sebagaimana mestinya. Sebelum
dikeluarkannya peraturan yang diperlukan dari pusat, pemerintahan daerah dapat
menentukan sendiri pengaturan mengenai soal-soal yang bersangkutan melalui
penetapan Peraturan Daerah.
Setelah
peraturan pusat yang dimaksud ditetapkan, barulah peraturan daerah tersebut
disesuaikan sebagaimana mestinya, sekedar untuk itu memang perlu diadakan
penyesuaian. Dengan demikian, kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi
kewenangan tidak hanya menyangkut pengalihan kewenangan dari atas ke bawah,
tetapi pada pokoknya juga perlu diwujudkan atas dasar keprakarsaan dari bawah
untuk mendorong tumbuhnya kemandirian pemerintahan daerah sendiri sebagai
faktor yang menentukan keberhasilan kebijakan otonomi daerah itu. Dalam kultur
masyarakat kita yang paternalistik, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah
itu tidak akan berhasil apabila tidak dibarengi dengan upaya sadar untuk
membangun keprakarsaan dan kemandirian daerah sendiri.
BAB III
OTONOMI DAERAH
1.
Latar Belakang Otonomi Daerah
Otonomi
daerah muncul sebagai bentuk veta comply terhadap sentralisasi yang sangat kuat
di masa orde baru. Berpuluh tahun sentralisasi pada era orde baru tidak membawa
perubahan dalam pengembangan kreativitas daerah, baik pemerintah maupun
masyarakat daerah. Ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat
sangat tinggi sehingga sama sekali tidak ada kemandirian perencanaan pemerintah
daerah saat itu. Di masa orde baru semuanya bergantung ke Jakarta dan
diharuskan semua meminta uang ke Jakarta. Tidak ada perencanaan murni dari
daerah karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak mencukupi.
Ketika
Indonesia dihantam krisis ekonomi tahun 1997 dan tidak bisa cepat bangkit,
menunjukan sistem pemerintahan nasional Indonesia gagal dalam mengatasi
berbagai persoalan yang ada. Ini dikarenakan aparat pemerintah pusat semua
sibuk mengurusi daerah secara berlebih-lebihan. Semua pejabat Jakarta sibuk
melakukan perjalanan dan mengurusi proyek di daerah. Dari proyek yang ada
ketika itu, ada arus balik antara 10 sampai 20 persen uang kembali ke Jakarta
dalam bentuk komisi, sogokan, penanganan proyek yang keuntungan itu dinikmati
ke Jakarta lagi. Terjadi penggerogotan uang ke dalam dan diikuti dengan
kebijakan untuk mengambil hutang secara terus menerus. Akibat perilaku buruk
aparat pemerintah pusat ini, disinyalir terjadi kebocoran 20 sampai 30 persen
dari APBN.
Akibat
lebih lanjut, adalah adanya ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat yang
sangat besar. Dan otonomi daerah adalah jawaban terhadap persoalan sentralisasi
yang terlalu kuat di masa orde baru. Caranya adalah mengalihkan kewenangan ke
daerah. Ini berdasarkan paradigma, hakikatnya daerah sudah ada sebelum Republik
Indonesia (RI) berdiri.Prinsipnya, daerah itu bukan bentukan pemerintah pusat,
tapi sudah ada sebelum RI berdiri. Karena itu, pada dasarnya kewenangan
pemerintahan itu ada pada daerah, kecuali yang dikuatkan oleh UUD menjadi
kewenangan nasional. Semua yang bukan kewenangan pemerintah pusat, asumsinya
menjadi kewenangan pemerintah daerah.Maka, tidak ada penyerahan kewenangan
dalam konteks pemberlakuan kebijakan otonomi daerah. Tapi, pengakuan
kewenangan.
Tahun 1999
menjadi titik awal terpenting dari sejarah desentralisasi di Indonesia. Pada
masa pemerintahan Presiden Habibie melalui kesepakatan para anggota Dewan
Perwakilan Rakyat hasil Pemilu 1999 ditetapkan Undang-Undang Nomor 22/1999
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25/1999 tentang Perimbangan
Keuangan Pusat Daerah untuk mengoreksi UU No.5/1974 yang dianggap sudah tidak
sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan dan perkembangan
keadaan.Kedua Undang-Undang tersebut merupakan skema otonomi daerah yang
diterapkan mulai tahun 2001. Undang-undang ini diciptakan untuk menciptakan
pola hubungan yang demokratis antara pusat dan daerah,Secara khusus,
pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan
perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi
daerah, maka aturan baru pun dibentuk untuk menggantikannya. Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati
Soekarnoputri mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.Diharapkan dengan adanya kewenangan di pemerintah daerah
maka akan membuat proses pembangunan, pemberdayaan dan pelayanan yang
signifikan. Prakarsa dan kreativitasnya terpacu karena telah diberikan
kewenangan untuk mengurusi daerahnya. Sementara di sisi lain, pemerintah pusat
tidak lagi terlalu sibuk dengan urusan-urusan domestik. Ini agar pusat bisa
lebih berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro strategis serta lebih punya
waktu untuk mempelajari, memahami, merespons, berbagai kecenderungan global dan
mengambil manfaat darinya.
2.
Pengertian Otonomi Derah
Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang
berarti sendiri dan namos yang berarti Undang-undang atau aturan. Dengan
demikian otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus
rumah tangga sendiri (Bayu Suryaninrat; 1985).
Beberapa pendapat ahli yang dikutip Abdulrahman (1997)
mengemukakan bahwa :
a. F. Sugeng Istianto, mengartikan
otonomi daerah sebagai hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah
tangga daerah.
b. Ateng Syarifuddin, mengemukakan
bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan
kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu terwujud pemberian
kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
c. Syarif Saleh, berpendapat bahwa
otonomi daerah adalah hak mengatur dan memerintah daerah sendiri. Hak mana
diperoleh dari pemerintah pusat.
Pendapat lain dikemukakan oleh Benyamin Hoesein (1993) bahwa
otonomi daerah adalah pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah
nasional suatu Negara secara informal berada di luar pemerintah pusat.
Sedangkan Philip Mahwood (1983) mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah suatu
pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan sendiri yang keberadaannya terpisah
dengan otoritas yang diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasikan sumber
sumber material yang substansial tentang fungsi-fungsi yang berbeda.
Dengan otonomi daerah tersebut, menurut Mariun (1979) bahwa
dengan kebebasan yang dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat
inisiatif sendiri, mengelola dan mengoptimalkan sumber daya daerah. Adanya
kebebasan untuk berinisiatif merupakan suatu dasar pemberian otonomi daerah,
karena dasar pemberian otonomi daerah adalah dapat berbuat sesuai dengan
kebutuhan setempat.
Kebebasan yang terbatas atau kemandirian tersebut adalah
wujud kesempatan pemberian yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan demikian,
hak dan kewajiban serta kebebasan bagi daerah untuk menyelenggarakan
urusan-urusannya sepanjang sanggup untuk melakukannya dan penekanannya lebih
bersifat otonomi yang luas. Pendapat tentang otonomi di atas, juga sejalan
dengan yang dikemukakan Vincent Lemius (1986) bahwa otonomi daerah merupakan
kebebasan untuk mengambil keputusan politik maupun administrasi, dengan tetap
menghormati peraturan perundang-undangan. Meskipun dalam otonomi daerah ada
kebebasan untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah, tetapi dalam
kebutuhan daerah senantiasa disesuaikan dengan kepentingan nasional, ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Terlepas dari itu pendapat beberapa ahli yang telah
dikemukakan di atas, dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dinyatakan bahwa
otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Beranjak dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa
otonomi daerah pada prinsipnya mempunyai tiga aspek, yaitu :
· Aspek Hak dan Kewenangan untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
· Aspek kewajiban untuk tetap
mengikuti peraturan dan ketentuan dari pemerintahan di atasnya, serta tetap
berada dalam satu kerangka pemerintahan nasional.
· Aspek kemandirian dalam pengelolaan
keuangan baik dari biaya sebagai perlimpahan kewenangan dan pelaksanaan
kewajiban, juga terutama kemampuan menggali sumber pembiayaan sendiri.
Yang
dimaksud dengan hak dalam pengertian otonomi adalah adanya kebebasan pemerintah
daerah untuk mengatur rumah tangga, seperti dalam bidang kebijaksanaan,
pembiyaan serta perangkat pelaksanaannnya. Sedangkan kewajban harus mendorong
pelaksanaan pemerintah dan pembangunan nasional. Selanjutnya wewenang adalah
adanya kekuasaan pemerintah daerah untuk berinisiatif sendiri, menetapkan
kebijaksanaan sendiri, perencanaan sendiri serta mengelola keuangan sendiri.
Dengan
demikian, bila dikaji lebih jauh isi dan jiwa undang-undang Nomor 23 Tahun
2004, maka otonomi daerah mempunyai arti bahwa daerah harus mampu :
a)
Berinisiatif
sendiri yaitu harus mampu menyusun dan melaksanakan kebijaksanaan
sendiri.
b)
Membuat
peraturan sendiri (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya.
c)
Menggali
sumber-sumber keuangan sendiri.
d)
Memiliki
alat pelaksana baik personil maupun sarana dan prasarananya.
3.
Dasar
Hukum
Otonomi daerah berpijak pada dasar Perundang-undangan yang
kuat, yakni :
a. Undang-undang Dasar Sebagaimana
telah disebut di atas Undang-undang Dasar 1945 merupakan landasan yang kuat
untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Pasal 18 UUD menyebutkan adanya
pembagian pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah.
b. Ketetapan MPR-RI Tap MPR-RI No.
XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah : Pengaturan, Pembagian dan
Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta perimbangan kekuangan
Pusat dan Daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c. Undang-Undang
Undang-undang
N0.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas Desentralisasi.
Hal-hal yang mendasar dalam UU No.22/1999 adalah mendorong untuk pemberdayaan
masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran
masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD. Diperbaharui lagi oleh UU No
32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya diperbaharui oleh UU No
12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah.
Dari beberapa dasar perundang-undangan tersebut di atas
tidak diragukan lagi bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah memiliki dasar hukum yang
kuat. Tinggal permasalahannya adalah bagaimana dengan dasar hukum yang kuat
tersebut pelaksanaan Otonomi Daerah bisa dijalankan secara optimal.
4.
Pokok-Pokok
Pikiran Otonomi Daerah
Isi dan jiwa yang terkandung dalam pasal 18 UUD 1945 beserta
penjelasannya menjadi pedoman dalam penyusunan Undang-undang yang membahas
tentang otonomi daerah dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
a. Sistem ketatanegaraan Indonesia
wajib menjalankan prinsip-prinsip pembagian kewenangan berdasarkan asas
desentralisasi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Daerah yang dibentuk berdasarkan
asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah propinsi, sedangkan daerah
yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah Kabupaten dan
daerah Kota. Daerah yang dibentuk dengan asas desentralisasi berwenang untuk
menentukan dan elaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat.
c. Pembagian daerah diluar propinsi
dibagi habis ke dalam daerah otonom. Dengan demikian, wilayah administrasi yang
berada dalam daerah Kabupaten dan daerah Kota dapat dijadikan Daerah Otonom
atau dihapus.
5.
Prinsip-Prinsip
Pelaksanaan Otonomi Daerah
Berdasar pada UU No.32/2004, prinsip-prinsip pelaksanaan
Otonomi Daerah adalah sebagai berikut :
a. Penyelenggaraan Otonomi Daerah
dilaksanakan dengan memperhatikan aspek-aspek demokrasi, keadilan, pemerataan,
serta potensi dan keanekaragaman daerah.
b. Pelaksanaan Otonomi Daerah
didasarkan pada asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI sebagaimana dimaksud dalam UUD RI
Tahun 1945.
c. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus
sesuai dengan Konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi
antara pusat dan daerah serta antar daerah.
d. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus
lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom.
e. Kawasan khusus yang dibina oleh
Pemerintah atau pihak lain seperti Badan Otorita, Kawasan Pelabuhan, Kawasan
Pertambangan, Kawasan Kehutanan, Kawasan Perkotaan Baru, Kawasan Wisata dan
semacamnya berlaku ketentuan peraturan Daerah Otonom secara khusus dan bagi kepentingan
nasional.
f. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus
lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai
fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah.
g. Pelaksanaan asas dekonsentrasi
diletakkan pada daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi
untuk memelaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada
Gubernur sebagai wakil Pemerintah.
h. Pelaksanaan asas tugas pembantuan
dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah Daerah kepada Desa yang disertai
dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan
kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang
menugaskan.
6.
Tujuan Otonomi Daerah
Tujuan
utama dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah antara lain adalah
membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam
menangani urusan daerah. Dengandemikian, pusat berkesempatan mempelajari,
memahami, merespon berbagai kecenderunganglobal dan mengambil manfaat
daripadanya. Pada saat yang sama pemerintah pusat diharapkanlebih mampu
berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro (luas atau yang bersifat umumdan
mendasar) nasional yang bersifat strategis. Di lain pihak, dengan
desentralisasi daerah akanmengalami proses pemberdayaan yang optimal. Kemampuan
prakarsa dan kreativitas pemerintahdaerah aka terpacu, sehingga kemampuannya
dalam mengatasi berbagai masalah yang terjadi didaerah akan semakin kuat.
Adapun tujuan pemberian otonomi daerah kepada daerah adalah
sebagai berikut
·
Peningkatan
pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semaikn baik
·
Pengembangan
kehidupan demokrasi
·
Keadilan.
·
Pemerataan
·
Pemeliharaan
hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah
·
Mendorong
untuk memberdayakan masyarakat
·
Menimbuhkan
prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat,mengembangakan
peran dan fungsi DPRD.
BAB VI
PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI
INDONESIA
Otonomi Daerah di Indonesia dimulai dengan bergulirnya
Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor
25 Tahun 2005 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
yang secara praktis efektif dilaksanakan sejak 1 Januari 2001. Diperbaharui
lagi dengan UU No 32 Tahun 2004 yang selanjutnya diperbaharui oleh UU No 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah. Otonomi Daerah menurut UU ini adalah kewenangan daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Tahap ini merupakan fase pertama dari pelaksanaan Otonomi
Daerah di Indonesia. Fase kedua Otonomi Daerah ditandai dengan adanya reformasi
dalam kebijakan keuangan negara melalui penetapan tiga peraturan di bidang
keuangan negara. Ketiga peraturan tersebut adalah UU Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,
dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara.
Telah lebih dari 12 tahun reformasi
sistem pemerintahan tersebut berjalan dengan berbagai kendala yang
mengiringinya serta pro dan kontra. Berbagai usaha pun dilakukan untuk
memperbaiki dan menyempurnakan sistem tersebut. Salah satu upaya tersebut
adalah dengan melakukan amandemen UU Otonomi Daerah. Proses ini merupakan awal
dari fase ketiga dalam proses Otonomi Daerah di Indonesia. UU Nomor 22 Tahun
1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 masing-masing digantikan oleh UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Selanjutnya
diperbaharui oleh UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi Daerah menurut UU ini adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Otonomi yang berasal dari kata autonomos (bahasa Yunani) mempunyai pengertian mengatur diri
sendiri. Pada hakekatnya otonomi daerah adalah upaya untuk mensejahterakan
masayarakat melalui pemberdayaan potensi daerah secara optimal. Makna
otonomi daerah adalah daerah mempunyai hak , wewenang dan kewajiban untuk
mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan peundang-undangan yang
berlaku (Pusat Bahasa , 2001 : 805). Undang-undang Nomor 32 tahun 2004
menyebutkan bahwa kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan . Aspek “ prakarsa
sendiri “ dalam otonomi daerah memberikan “roh” pada penyelenggaraan
pembangunan daerah yang lebih participatory.
Tanpa upaya untuk menumbuh-kembangkan prakarsa setempat, otonomi daerah yang
diharapkan dapat memberikan nuansa demokratisasi pembangunan daerah, akan
kehilangan makna terpentingnya.
Otonomi yang luas sebenarnya merupakan penjabaran dari
desentralisasi secara utuh. Idealnya pelaksanaan otonomi yang luas harus
disertai pula dengan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan,
pemberdayaan dan partisipasi masyarakat, penggalian potensi dan
keanekaragaman daerah yang difokuskan pada peningkatan ekonomi di tingkat
kabupaten dan kotamadia.
Implementasi otonomi daerah dapat dilihat dari bebagai segi
yaitu pertama, dilihat dari segi wilayah (teritorial)
harus berorientasi pada pemberdayaan dan penggalian potensi daerah. Kedua, dari
segi struktur tata pemerintahan berorientasi pada pemberdayaan pemerintah
daerah dalam mengelola sumber-sumber daya yang dimilikinya secara bertanggung
jawab dan memegang prinsip-prinsip kesatuan negara dan bangsa. Ketiga, dari
segi kemasyarakatan berorientasi pada pemberdayaan dan pelibatan
masyarakat dalam pembangunan di berbagai daerah sesuai dengan kemampuan
masing-masing.
Undang-undang dan peraturan tentang otonomi daerah sudah
disusun sejak Indonesia merdeka .Hal ini menunjukkan bahwa para pemimpin negara
dari jaman Orde Lama, Orde Baru sampai pemimpin negara saat ini sudah
memikirkan betapa penting otonomi daerah mengingat wilayah Indonesia yang
demikian luas yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Pemberian otonomi kepada
daerah pada dasarnya merupakan upaya pemberdayaan dalam rangka mengelola
pembangunan di daerahnya. Daerah diharapkan sedikit demi sedikit mampu
melepaskan ketergantungannya terhadap bantuan pemerintah pusat dengan
cara meningkatkan kreativitas, meningkatkan inovasi dan
meningkatkan kemandiriannya. Bila pelaksaan otonomi daerah sesuai dengan
peraturan dan perundang-undangan yang telah disusun, maka harapan indah untuk
mewujudkan “daerah membangun“ (bukan “membangun daerah”), dapat
segera tercapai. Otonomi daerah memberikan harapan cerah kepada daerah
untuk lebih meningkatkan dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan
dalam rangka memberikan efektifitas pelayanan kepada masyarakat .Hal lain
yang tidak kalah penting adalah daerah dapat melaksnakan fungsi-fungsi
pembangunan serta mengembangkan prakarsa masyarakat secara demokratis ,
sehingga sasaran pembangunan diarahkan dan disesuaikan dengan kondisi dan
permasalahan yang ada di daerah.
Pada kenyataannya sangat ironis bila pelaksanaan dan
penerapan otonomi daerah sejak Orde Lama, Orde Baru dan sampai saat ini
tidak pernah tuntas. Berbagai faktor penyebab pelaksanaan otonomi daerah
yang tidak mulus adalah karena distorsi kepentngan-kepentingan politik penguasa
yang menyertai penerapan otonomi daerah sehingga penguasa cenderung tetap
melaksanakan pemerintahan secara sentralistik dan otoriter. Selain itu
kepentingan-kepentingan politik para pemimpin negara untuk memerintah dan
berkuasa secara absolut dengan mempolitisir otonomi daerah mengakibatkan
otonomi daerah semakin tidak jelas tujuannya. Suatu contoh yaitu pada
masa pemerintahan presiden Suharto telah ditetapkan proyek percontohan untuk
menerapkan otonomi daerah di 26 daerah tingkat II berdasarkan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1974, tetapi tidak ada hasilnya.
Penerapan otonomi daerah melalui Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 saat ini masih mencari bentuk, karena sikap pemerintah yang masih “
mendua “. Di satu pihak pemerintah sadar bahwa otonomi daerah sudah sangat
mendesak untuk segera dilaksanakan secara tuntas, tetapi di lain pihak
pemerintah juga berusaha tetap mengendalikan daerah secara kuat pula. Hal ini
terlihat pada kewenangan-kewenangan yang cukup luas yang masih ditangani
pemerintah terutama yang sangat potensial sebagai sumber keuangan. Selain itu
kewenangan pemerintah yang lain , yang juga dapat mengancam pelaksanaan otonomi
daerah adalah otoritas pemerintah untuk mencabut otonomi yang telah
diberikan kepada daerah. Selama kurang lebih empat tahun sejak
dicanangkannya otonomi daerah di Indonesia, pemberdayaan daerah yang gencar
diperjuangkan pada kenyataannya belum dilaksanakan secara optimal. Pembangunan
di daerah kurang memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
Keputusan-keputusan pemerintah serta program-program pembangunan tidak
menyertakan masyarakat, sehingga program-program pembangunan di daerah
cenderung masih bersifat top down
daripada bottom up planning.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar otonomi daerah
dapat terwujud. Pertama, harus disadari bahwa otonomi daerah harus selalu
diletakkan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah
merupakan suatu subsistem dalam satu sistem pemerintahan yang utuh.
Kedua, perlu kemauan politik (political
will) dari semua pihak seperti pemerintah pusat, pemerintah
daerah dan masyarakat. Kemauan politik dari semua pihak dapat memperkuat
tujuan untuk membangun masyarakat Indonesia secara keseluruhan melalui
pembangunan-pembangunan daerah. Kemauan politik ini diharapkan dapat
membendung pemikiran primordial, parsial, etnosentris dan sebagainya.
Ketiga, komitmen yang tinggi dari berbagai pihak yang berkepentingan sangat
dibutuhkan agar pelaksanaan otonomi daerah dapat tercapai tujuannya.
BAB V
MASALAH YANG MUNCUL
SETELAH PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
Implementasi Otonomi daerah bukan tanpa masalah. Ia melahirkan
banyak persoalan ketika diterjemahkan di lapangan. Banyaknya permasalahan yang
muncul menunjukan implementasi kebijakan ini menemui kendala-kendala yang harus
selalu dievakuasi dan selanjutnya disempurnakan agar tujuannya tercapai.
Beberapa persoalan itu adalah:
1. Kewenangan
yang tumpang tindih
Pelaksanaan otonomi daerah masih
kental diwarnai oleh kewenangan yang tumpang tindih antar institusi
pemerintahan dan aturan yang berlaku, baik antara aturan yang lebih tinggi atau
aturan yang lebih rendah. Peletakan kewenangan juga masih menjadi pekerjaan
rumah dalam kebijakan ini. Apakah kewenangan itu ada di kabupaten kota atau
provinsi. Dengan pemberlakuan otonomi daerah yang mendadak mengejutkan
pihak-pihak daerah yang tidak memiliki sumber daya manusia
kualitatif.Terjadilah artikulasi otonomi daerah kepada aspek-aspek finansial
tanpa pemahaman substatife yang cukup terhadap hakekat otonomi itu sendiri.
2. Anggaran
Banyak terjadi keuangan daerah tidak mencukupi sehingga
menghambat pembangunan. Sementara pemerintah daerah lemah dalam kebijakan
menarik investasi di daerah. Di sisi yang lain juga banyak terjadi persoalan
kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan APBD yang merugikan
rakyat. Dalam otonomi daerah, paradigma anggaran telah bergeser ke arah apa
yang disebut dengan anggaran partisipatif. Tapi dalam prakteknya, keinginan
masyarakat akan selalu bertabrakan dengan kepentingan elit sehingga dalam
penetapan anggaran belanja daerah, lebih cenderung mencerminkan kepentingan
elit daripada kepentingan masyarakat.
3. Pelayanan
Publik
Masih rendahnya pelayanan publik
kepada masyarakat. Ini disebabkan rendahnya kompetensi PNS daerah dan tidak
jelasnya standar pelayanan yang diberikan. Belum lagi rendahnya akuntabilitas
pelayanan yang membuat pelayanan tidak prima. Banyak terjadi juga Pemerintah
daerah mengalami kelebihan PNS dengan kompetensi tidak memadai dan kekurangan
PNS dengan kualifikasi terbaik. Di sisi yang lain tidak sedikit juga gejala
mengedepankan ”Putra Asli Daerah” untuk menduduki jabatan strategis dan
mengabaikan profesionalitas jabatan.
4. Politik
Identitas Diri
Menguatnya politik identitas diri
selama pelaksanaan otonomi daerah yang mendorong satu daerah berusaha
melepaskan diri dari induknya yang sebelumnya menyatu. Otonomi daerah
dibayang-bayangi oleh potensi konflik horizontal yang bernuansa etnis. Atau
dapat dikatakan Bangkitnya egiosemtrisme ditiap daerah.
5. Orientasi
Kekuasaan
Otonomi daerah masih menjadi isu
pergeseran kekuasaan di kalangan elit daripada isu untuk melayani masyarakat
secara lebih efektif. Otonomi daerah diwarnai oleh kepentingan elit lokal yang
mencoba memanfaatkan otonomi daerah sebagai momentum untuk mencapai kepentingan
politiknya dengan cara memobilisasi massa dan mengembangkan sentimen kedaerahan
seperti ”putra daerah” dalam pemilihan kepala daerah.
6. Lembaga
Perwakilan
Meningkatnya kewenangan DPRD
ternyata tidak diikuti dengan terserapnya aspirasi masyarakat oleh lembaga
perwakilan rakyat. Ini disebabkan oleh kurangnya kompetensi anggota DPRD,
termasuk kurangnya pemahaman terhadap peraturan perundangan. Akibatnya meski
kewenangan itu ada, tidak berefek terhadap kebijakan yang hadir untuk
menguntungkan publik. Persoalan lain juga adalah banyak terjadi campur tangan
DPRD dalam penentuan karir pegawai di daerah.
7. Pemekaran
Wilayah
Pemekaran wilayah menjadi masalah
sebab ternyata ini tidak dilakukan dengan grand desain dari pemerintah pusat.
Semestinya desain itu dengan pertimbangan utama guna menjamin kepentingan
nasional secara keseluruhan. Jadi prakarsa pemekaran itu harus muncul dari
pusat. Tapi yang terjadi adalah prakarsa dan inisiatif pemekaran itu berasal
dari masyarakat di daerah. Ini menimbulkan problem sebab pemekaran lebih
didominasi oleh kepentingan elit daerah dan tidak mempertimbangkan kepentingan
nasional secara keseluruhan.
8. Pilkada Langsung
Pemilihan kepala daerah secara langsung di daerah ternyata
menimbulkan banyak persoalan. Pilkada langsung sebenarnya tidak diatur di UUD,
sebab yang diatur untuk pemilihan langsung hanyalah presiden. Pilkada langsung
menimbulkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan suksesi
kepemimpinan ini. Padahal kondisi sosial masyarakat masih terjebak kemiskinan.
Disamping itu, pilkada langsung juga telah menimbulkan moral hazard yang luas
di masyarakat akibat politik uang yang beredar. Tidak hanya itu pilkada
langsung juga tidak menjamin hadirnya kepala daerah yang lebih bagus dari
sebelumnya.
BAB VI
WACANA PROVINSI CIREBON
A.
LATAR BELAKANG
Pemekaran wilayah merupakan fenomena yang
mengiringi penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Sebagian besar
daerah yang mengalami pemekaran berada di wilayah luar Pulau Jawa. Sejak awal
reformasi hingga akhir 2008, pertambahan daerah otonom di Indonesia sudah
mencapai 203 buah. Jumlah itu terdiri dari 7 provinsi, 163 kabupaten dan 33
kota. Bahkan dalam triwulan akhir tahun 2008, telah disetujui 12 daerah otonom
baru. Sehingga, jumlah daerah otonom di Indonesia menjadi 522 buah, yang
terdiri dari 33 provinsi, 297 kabupaten dan 92 kota. Jika dibandingkan dengan
negara tetangga Filipina, jumlah provinsi di Indoensia memang relatif lebih
sedikit. Filipina hingga tahun 2002, memiliki 79 provinsi dari jumlah penduduk
sebesar 86.241.697 jiwa dan luas daratan diperkirakan 300.000 km.
Banyak para ahli mengingatkan, banyaknya
komplikasi yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan pemekaran di Indonesia,
maka persetujuan untuk dapat melakukan pemekaran di masa mendatang perlu
dilakukan secara ketat dan sangat hati-hati. Untuk keperluan ini, maka
kebijakan pertama yang perlu dilakukan adalah menentukan jumlah provinsi, serta
kabupaten/kota yang dapat dimekarkan sampai tahun 2025 mendatang. Kajian ini
perlu dilakukan agar pengambil keputusan, baik eksekutif maupun legislatif,
dapat menentukan sampai jumlah berapa sebaiknya pemekaran daerah dapat
dilakukan di Indonesia pada tahun 2025 mendatang. Khusus untuk kajian bidang
sosial ekonomi, maka jumlah provinsi maksimum untuk Indonesia sampai tahun 2025
mendatang adalah tidak lebih dari 39 provinsi. Jumlah provinsi yang telah ada
di Indonesia sampai tahun 2009 adalah 33 provinsi. Dengan demikian, masih
terdapat peluang untuk melakukan pemekaran daerah baru sebanyak enam provinsi
lagi sampai tahun 2025 mendatang.
Seperti yang diberitakan pembentukan
Provinsi Cirebon merupakan hasil musyawarah masyarakat di wilayah III Cirebon
yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 untuk mengatur
mekanisme persayaratan administrasi dalam membentuk provinsi baru, serta
peraturan Perundang – undangan terkait lainnya, dan Peraturan Pemerintah Nomor
41 Tahun 2007 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK). Dalam rangka
membangun kebersamaan dari berbagai unsur elemen masyarakat di wilayah III
Cirebon yaitu Kota Cirebon, Kab. Cirebon Kab. Indramayu, Kab. Majalengka dan
Kab.Kuningan (Ciayumajakuning), untuk saling bahu membahu demi eksistensi
masyarakat wilayah III Cirebon di masa yang akan datang.
B.
PENDAPAT YANG KONTRA
Usulan pemekaran yang terjadi sekarang lebih
banyak karena prakarsa maupun pernyataan orang tertentu. Jumlah terbanyak
usulan pemekaran daerah selama ini berasal dari Legislatif/kepala derah.
Kenyataannya, keinginan atau usulan pemekaran daerah selama ini minim dari
kajian yang semestinya dilakukan. Keinginan memekarkan wilayah sekarang ini
sangat elitis dan cenderung dipolitisir. Akibatnya, tujuan pemekaran wilayah
itu lebih banyak akibat ambisi kekuasan para elite. Pemekaran wilayah
menjadi alat tawar menawar antara masyarakat dengan tokoh yang ingin menjadi
pemimpin di wilayah baru itu.
Mantan Menteri Keuangan Sri MuIyani merasa
prihatin jika lahirnya provinsi, kabupaten serta kota yang baru mengakibatkan
ratusan miliar rupiah habis untuk membangun kantor bupati, gubernur serta wall
kota yang baru disertai kantor DPRD yang baru hingga pembuatan baju seragam
yang baru. "Saya sering diminta oleh bupati dan wali kota baru untuk
membantu membangun kantor perbendaharaan negara yang baru dan kemudian kantor
jaksa, polisi yang baru,akibat pemekaran itu. Pada hal seharusnya dana itu
dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta memperbaiki pelayanan
publik," kata Sri Mulyani. .(Pikiran Rakyat,23/02/2009)
Menurut Pakar Otonomi Daerah Eko Prasojo (2007)
Pemekaran memang tidak boleh diharamkan, tetapi pemekaran yang tidak tepat
menyebabkan inefisiensi penggunaan keuangan negara. Sebab bagaimanapun,
kekuatan keuangan negara untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah memiliki
keterbatasan. Problem pemekaran terjadi karena kepentingan politik elite lebih
menonjol daripada kepentingan kesejahteraan masyarakat. Secara politis,
pemekaran juga diartikan sebagai "pembukaan" lapangan pekerjaan
politik menjadi anggota DPRD dan lapangan jabatan baru lain yang muncul
sebagai konsekuensi terbentuknya daerah otonom.
Pemekaran juga sekaligus membuat konfigurasi
baru kekuatan partai politik di daerah yang dimekarkan yang bisa saja berbeda
dengan daerah induknya. Terkait dengan implementasi kebijakan PP 129/2000, bisa
dikatakan bahwa persetujuan politik pemekaran daerah sering berada "dalam
ruang gelap". Ukuran persetujuan lebih sering dilakukan secara administratif
oleh tim konsultan, sedangkan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah tidak berdaya
untuk menolak pemekaran. Prosedur pemekaran daerah (OTDA ) pun diusulkan
sebaiknya berasal dari pemerintah dan tidak dari DPR, sehingga pembahasan
terhadap kelayakan bersama dengan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD)
dapat dilakukan dengan baik berdasarkan data dan informasi yang tersedia dari
kementerian terkait. Pengusulan itu pun harus memenuhi persyaratan administrasi
susuai dengan ketentuan yang berlaku yang menyangkut dengan surat persetujuan
dari pihak yang berwenang seperti DPRD dan kepala daerah yang bersangkutan.
Sementara semakin jauh dari ibu kota daerah maka
akan semakin tertinggal pula daerah itu, sehingga para elite dari masyarakat
yang berada di daerah yang tertinggal itu berupaya untuk menghadirkan
pemerintahan sendiri. Ketiga, dan ini sering tidak diungkap sebagai alasan
tertulis, adalah upaya untuk bagi-bagi kekuasaan di tingkat lokal. Perputaran
elite di tingkat yang begitu lambat, bahkan sejumlah elite daerah yang sudah
keenakan di kursi kekuasaan dan jabatan, terus mempertahankannya dengan
berbagai cara, sehingga muncul kecemburuan dari para elite lain yang juga haus
kekuasaan. Alasan pertama dan kedua tentu saja dapat kita benarkan baik secara
sosiologis maupun secara yuridis, sedangkan alasan ketiga yang mendominasi
munculnya daerah-daerah pemekaran baru adalah sebuah dosa politik yang
dilakukan oleh elit politik terhadap rakyatnya. Sebuah kesalahan memaknai
otonomi daerah.
Konflik di antara para elite lokal itu dalam
memperebutkan kekuasaan dan jabatan sering tak bisa dihindari, termasuk di
dalamnya melibatkan rakyat (arus bawah) dalam wujud konflik horizontal (antara
lain terbukti pada kasus Mamassa, Sulawesi Selatan, dan Morowali, Sulawesi
Tengah,Tapanuli Utara dll). Akibatnya, dengan berbagai cara pula berupaya
memekarkan daerah sehingga bisa memperoleh jabatan atau kekuasaan di daerah
baru itu. Apalagi bagi mereka yang sudah berjasa dalam memperjuangkan daerah
pemekaran, sudah memosisikan diri sebagai pihak yang harus dapat bagian jatah
kursi jabatan atau politik dan kekuasaan di daerah baru itu. Pemekaran Daerah
telah menguras enerji Pemerintah Provinsi dan prosesnya sering menimbulkan
ketidakstabilan daerah.
Pemekaran sering kurang memperhatikan aspek kemampuan
daerah (yang akan dimekarkan). Sebaiknya ketentuan tentang pemekaran harus
lebih mengedepankan faktor-faktor yang dimiliki daerah yang berkaitan langsung
dengan kemampuan daerah pemekaran untuk menyelenggarakan pelayanan publik lebih
baik dibandingkan dengan daerah induknya. Pemekaran saat ini lebih tinggi bobot
politiknya daripada aspek kondisi obyektif daerah. Harus ada audit independent
yang komprehensif yang mengevaluasi kelayakan pemekaran dan ada masa transisi
untuk pemekaran yang diawasi oleh daerah induk. Setelah menunjukkan kinerja
yang baik baru dimekarkan.
Pemekaran daerah otonom baru dalam
implementasinya memang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
serta menciptakan daerah makin mandiri dandemokratis.Namun, Tujuan ini dapat
diwujud nyatakan melalui peningkatan profesionalisme birokrat daerah untuk
dapat menyelenggarakan pemerintahan yang efisien dan efektif, dapat
meningkatkan pelayanan dasar publik, dapat menciptakan kesempatan lebih luas
untuk masyarakat, serta dapat akses langsung pada unit‐unit
pelayanan publik yang tersebar dan mudah dijangkau oleh masyarakat
pedesaan maupun kota.
Rata‐rata tingkat
kesejahteraan masyarakat di Daerah Otonom Baru (DOB) sebelum pemekaran umumnya
lebih sejahtera dibandingkan rata‐rata Daerah Induknya,
akan tetapi perkembangan peningkatan kesejahteraan ini semakin menurun. Hal ini
ditunjukan dengan pertumbuhan ekonominya semakin terkejar oleh pertumbuhan
ekonomi di Daerah Induknya. Artinya perkembangan kinerja di DOB relative tidak
lebih baik dibandingkan perkembangan kinerja di daerah Induknya. Pemekaran
daerah juga berdampak negatif terhadap APBN dan APBD Provinsi. Berbagai
konsekuensi biaya pemekaran, diantaranya: berkurangnya rata‐rata
DAU tiap daerah, total DAK prasarana dari APBN meningkat tapi DAK tiap daerah
menurun, pembiayaan instansi‐instansi vertikal di
daerah, pembiayaan sarana‐sarana pelayanan umum,
dana pendamping DAK dari APBD, serta dana bantuan dari APBD Provinsi induk.
Selama 3 tahun terakhir, ratarata beban biaya provinsi baru, tiap tahun sekitar
Rp 56 Milliar. Mekanisme insentif perlu diciptakan bagi daerah otonom
baru yang kinerjanya kurang baik dibandingan sebelum pemekaran, serta bersedia
untuk digabungkan kembali dengan daerah induk, misalnya gunakan dana penyesuaian
untuk pembiayaan insentif fiskal mendorong penggabungan. Mekanisme disinsentif
bagi daerah yang ingin melakukan pemekaran daerah otonom baru sebenarnya mudah
diterapkan, asalkan mekanisme pembentukan/pemekaran daerah otonom baru sesuai
aturan yang berlaku, yaitu sebagaimana dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 serta dalam
PP 78 tahun 2007, dimana pembentukan daerah harus memenuhi persyaratan
administratif, teknis dan fisik kewilayahan. Hasil survei menunjukkan semua
daerah pemekaran baru tidak mempunyai dokumentasi mengenai berbagai indikator
teknis, serta batas fisik yang masih diperdebatkan antara Daerah Induk dan
daerah Otonom Baru.( Analisis manfaat dan biaya pemekaran derah, Departemen
Keuangan RI Ditjen Perimbangan Keuangan Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang
Desentralisasi Fiskal Tahun 2008) Begitu juga, persyaratan administratif
masih dipertanyakan.
Dari hasil kajian dan
anlisis tersebut, banyak sekali yang menyaranakn dilakukan moratorium pemekaran
daerah, serta penerapan mekanisme pembentukan/pemekaran daerah otonom baru
sesuai aturan yang berlaku, yaitu harus memenuhi persyaratan administratif,
teknis dan fisik kewilayahan.
DAFTAR PUSTAKA
-
Proceeding workshop nasional Penguatan Pelaksanaan Kebijakan
Desentralisasi Fiskal di Jakarta, 6‐7 Desember 2006.
Departemen Keuangan, Jakarta.
-
Tuerah, N. 2006. “Analisis Pemekaran Daerah Terhadap
Pelayanan Publik.” Jakarta
-
Statuta Pembentukan Provinsi Cirebon. 2009 ‘ hasil kajian dan tata
Ruang’. P3C.Cirebon
-
Peraturan
Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Penyusunan dan Penerapan Standar
Pelayanan Minimal.
-
Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
-
Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
-
Undang-undang
No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah.
-
Prof.Drs. HAW. Widjaja, , 2005, penyelenggaraan otonomi daerah di indonesia,
Palembang : Rajawali Pers
-
Mubyarto,
2000, Pemulihan Ekonomi Rakyat Menuju
Kemandirian Masyarakat Desa, Yogyakarta : Aditya Media.
-
Mubyarto,
2001, Prospek Otonomi Daerah dan
Perekonomian Indonesia Pasca Krisis, Yogyakarta : BPFE.
-
Nugroho
D., Riant, 2000, Otonomi Daerah
Desentralisasi Tanpa Revolusi : Kajian dan Kritik atas Kebijakan Desentralisasi
di Indonesia.Jakarta : PT Elex Media Kompetindo
0 comments:
Post a Comment