Thursday 1 May 2014

Pengkhianatan Intelektual



Setiap hari kita dipertontonkan dengan berita media yang menunjukkan pergulatan politik, terlebih momentum pilpres yang sebentar lagi akan kita jelang. Bila dicermati, makin sedikit ditemukan cendekiawan atau intelektual berdedikasi di Indonesia. Ironisnya, lebih banyak ditemukan intelektual yang terjun ke dunia politik, di mana mereka sering kali menggadaikan nilai-nilai kebenaran demi memperoleh kekuasaan.

Diakui, dunia politik memberikan peluang kepada tiap orang untuk melakukan berbagai cara demi memperoleh kekuasaan.
Bila sudah memperoleh kekuasaan, maka berbagai cara pula dilakukan demi mempertahankan kekuasaannya. Ciri khas demikian tak luput dari dunia perpolitikan di Indonesia.

Lalu, apa jadinya bila intelektual masuk ke dunia politik. Kita tahu bahwa intelektual merupakan orang-orang yang menjunjung kebenaran, bukan kekuasaan. Julien Benda (1867-1956) mengatakan bahwa intelektual merupakan sosok yang dalam perhatian utamanya mencari kepuasan dalam mengolah seni, ilmu pengetahuan atas renungan metafisika, dan bukan hendak mengejar tujuan-tujuan praktis. Seorang intelektual senantiasa mengedepankan hati nurani, bukan logika. Namun bila intelektual sudah mengabaikan hati nurani, nantinya terjadi apa yang disebut pengkhianatan intelektual. Hal ini terjadi bila intelektual mengkhianati hati nuraninya hanya untuk memberikan pembenaran terhadap langkah-langkah yang dilakukan oleh penguasa. Intelektual demikian, senantiasa merasionalkan apa yang dilakukan pemerintah bahwa hal tersebut benar, meski di dalam hati nuraninya mengatakan bahwa langkah tersebut keliru. 

Jadi, boleh dibilang, intelektual berdedikasi salah satu cirinya ditunjukkan dengan ketegarannya menuruti apa kata hati nuraninya, sebab hati nurani tidak akan pernah berbohong. Hal ini pula yang akan membentuk sikap dan perilaku intelektual dalam menjalankan peran keintelektualannya, terutama dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Ini berarti pula, intelektual yang berdedikasi atau tidak, sebetulnya tidak cukup dilihat dari apakah dia terjun ke dunia politik atau tidak, tapi apakah dia memberikan pemecahan terhadap masalah yang dihadapi masyarakat atau tidak. Makin sedikitnya intelektual yang berusaha memecahkan permasalahan masyarakat, bisa jadi disebabkan oleh sikap acuh tak acuh mereka terhadap masalah-masalah yang ada di sekitarnya. 

Memang diakui, intelektual yang terjun ke dunia politik, relatif lebih berat godaannya untuk mengkhianati keintelektualannya, ketimbang yang tidak bersinggungan dengan dunia politik. Tapi di sisi lain, intelektual yang tidak terjun ke dunia politik pun, bisa saja mengkhianati keintelektualannya, bila dia menjadi corong penguasa. 

Karena itu, makin sedikitnya intelektual yang berdedikasi, bisa saja disebabkan oleh makin banyaknya cendekiawan yang terjun ke dunia politik. Mereka lebih berfokus pada kepentingan diri dan kelompok ketimbang memikirkan kepentingan rakyat. Selain itu, mereka lebih berpikir bagaimana cara mempertahankan kekuasaan ketimbang berpikir bagaimana membuat rakyat bisa makmur dan sejahtera. Bila ini terjadi, intelektual sudah tidak menjalankan fungsinya, tapi justru bertolak belakang dengan apa yang seharusnya dilakukan. 

Namun, bukan berarti bahwa cendekiawan tidak boleh terjun dalam dunia politik apalagi sama sekali tidak peduli dengan politik. Bagaimanapun, segala apa yang bersinggungan dengan hajat hidup orang banyak, senantiasa menggunakan kekuatan politik. Begitu pun bila ingin memperbaiki masyarakat, biasanya kekuatan politik diperlukan untuk memperoleh hasil yang lebih optimal. Nah, sebagaimana fungsinya untuk memecahkan permasalahan masyarakat, maka sebetulnya wajar bila intelektual terjun ke dunia politik ataupun bersinggungan dengan dunia politik agar misi tersebut bisa lebih efektif dilakukan. Inilah yang sering kali dijadikan alasan bagi intelektual yang berpolitik, tapi tak jarang mereka lupa terhadap misi yang diemban bila sudah terbius dengan nikmatnya kekuasaan. Karena itu, intelektual harus mempertimbangkan dengan matang sebelum memutuskan terjun ke dunia politik. 

Tentu hal ini tidak boleh dibiarkan terjadi berlarut-larut. Kita membutuhkan intelektual berdedikasi, apalagi di tengah beragamnya permasalahan bangsa saat ini. Memang dibutuhkan usaha yang lebih panjang untuk menciptakan intelektual berdedikasi, karena hanya melalui pendidikan, terutama di perguruan tinggi, intelektual demikian bisa dibentuk. Menurut Muhammad Hatta, perguruan tinggi tidak hanya berperan untuk membekali mahasiswa dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan, tapi juga moral. Kekuatan moral inilah yang sebetulnya dapat menjaga agar nilai-nilai keintelektualan dapat senantiasa terinternalisasi dalam diri mahasiswa dan pasca menjadi mahasiswa. Karena itu, di pundak perguruan tinggilah diharapkan tercipta lulusan yang dapat tampil sebagai barisan cendekiawan dengan dilengkapi cipta, rasa, dan karsa, serta wawasan luas jauh ke masa depan. Sangat mungkin kehadiran mereka akan mengembalikan citra bangsa bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar dan terhormat.

0 comments:

Post a Comment