Setiap hari kita dipertontonkan dengan berita media yang menunjukkan pergulatan politik, terlebih momentum pilpres yang sebentar lagi akan kita jelang. Bila dicermati,
makin sedikit ditemukan cendekiawan atau intelektual berdedikasi di Indonesia.
Ironisnya, lebih banyak ditemukan intelektual yang terjun ke dunia politik, di
mana mereka sering kali menggadaikan nilai-nilai kebenaran demi memperoleh
kekuasaan.
Diakui, dunia
politik memberikan peluang kepada tiap orang untuk melakukan berbagai cara demi
memperoleh kekuasaan.
Bila sudah memperoleh kekuasaan, maka berbagai cara pula dilakukan demi mempertahankan kekuasaannya. Ciri khas demikian tak luput dari dunia perpolitikan di Indonesia.
Bila sudah memperoleh kekuasaan, maka berbagai cara pula dilakukan demi mempertahankan kekuasaannya. Ciri khas demikian tak luput dari dunia perpolitikan di Indonesia.
Lalu, apa
jadinya bila intelektual masuk ke dunia politik. Kita tahu bahwa intelektual merupakan orang-orang
yang menjunjung kebenaran, bukan kekuasaan. Julien Benda (1867-1956) mengatakan bahwa intelektual merupakan
sosok yang dalam perhatian utamanya mencari kepuasan dalam mengolah seni, ilmu
pengetahuan atas renungan metafisika, dan bukan hendak mengejar tujuan-tujuan
praktis. Seorang intelektual senantiasa mengedepankan hati nurani, bukan logika.
Namun bila intelektual sudah mengabaikan hati nurani, nantinya terjadi apa yang
disebut pengkhianatan intelektual. Hal ini terjadi bila intelektual
mengkhianati hati nuraninya hanya untuk memberikan pembenaran terhadap
langkah-langkah yang dilakukan oleh penguasa. Intelektual demikian, senantiasa
merasionalkan apa yang dilakukan pemerintah bahwa hal tersebut benar, meski di
dalam hati nuraninya mengatakan bahwa langkah tersebut keliru.
Jadi, boleh
dibilang, intelektual berdedikasi salah satu cirinya ditunjukkan dengan
ketegarannya menuruti apa kata hati nuraninya, sebab hati nurani tidak akan
pernah berbohong. Hal ini pula yang akan membentuk sikap dan perilaku
intelektual dalam menjalankan peran keintelektualannya, terutama dalam
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Ini berarti pula,
intelektual yang berdedikasi atau tidak, sebetulnya tidak cukup dilihat dari
apakah dia terjun ke dunia politik atau tidak, tapi apakah dia memberikan
pemecahan terhadap masalah yang dihadapi masyarakat atau tidak. Makin
sedikitnya intelektual yang berusaha memecahkan permasalahan masyarakat, bisa
jadi disebabkan oleh sikap acuh tak acuh mereka terhadap masalah-masalah yang
ada di sekitarnya.
Memang diakui,
intelektual yang terjun ke dunia politik, relatif lebih berat godaannya untuk
mengkhianati keintelektualannya, ketimbang yang tidak bersinggungan dengan
dunia politik. Tapi di sisi lain, intelektual yang tidak terjun ke dunia
politik pun, bisa saja mengkhianati keintelektualannya, bila dia menjadi corong
penguasa.
Karena itu,
makin sedikitnya intelektual yang berdedikasi, bisa saja disebabkan oleh makin
banyaknya cendekiawan yang terjun ke dunia politik. Mereka lebih berfokus pada
kepentingan diri dan kelompok ketimbang memikirkan kepentingan rakyat. Selain
itu, mereka lebih berpikir bagaimana cara mempertahankan kekuasaan ketimbang
berpikir bagaimana membuat rakyat bisa makmur dan sejahtera. Bila ini terjadi,
intelektual sudah tidak menjalankan fungsinya, tapi justru bertolak belakang
dengan apa yang seharusnya dilakukan.
Namun, bukan
berarti bahwa cendekiawan tidak boleh terjun dalam dunia politik apalagi sama
sekali tidak peduli dengan politik. Bagaimanapun, segala apa yang bersinggungan
dengan hajat hidup orang banyak, senantiasa menggunakan kekuatan politik.
Begitu pun bila ingin memperbaiki masyarakat, biasanya kekuatan politik
diperlukan untuk memperoleh hasil yang lebih optimal. Nah, sebagaimana
fungsinya untuk memecahkan permasalahan masyarakat, maka sebetulnya wajar bila
intelektual terjun ke dunia politik ataupun bersinggungan dengan dunia politik
agar misi tersebut bisa lebih efektif dilakukan. Inilah yang sering kali
dijadikan alasan bagi intelektual yang berpolitik, tapi tak jarang mereka lupa
terhadap misi yang diemban bila sudah terbius dengan nikmatnya kekuasaan.
Karena itu, intelektual harus mempertimbangkan dengan matang sebelum memutuskan
terjun ke dunia politik.
Tentu hal ini
tidak boleh dibiarkan terjadi berlarut-larut. Kita membutuhkan intelektual
berdedikasi, apalagi di tengah beragamnya permasalahan bangsa saat ini. Memang
dibutuhkan usaha yang lebih panjang untuk menciptakan intelektual berdedikasi,
karena hanya melalui pendidikan, terutama di perguruan tinggi, intelektual
demikian bisa dibentuk. Menurut Muhammad Hatta, perguruan tinggi tidak hanya
berperan untuk membekali mahasiswa dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan,
tapi juga moral. Kekuatan moral inilah yang sebetulnya dapat menjaga agar
nilai-nilai keintelektualan dapat senantiasa terinternalisasi dalam diri
mahasiswa dan pasca menjadi mahasiswa. Karena itu, di pundak perguruan
tinggilah diharapkan tercipta lulusan yang dapat tampil sebagai barisan
cendekiawan dengan dilengkapi cipta, rasa, dan karsa, serta wawasan luas jauh
ke masa depan. Sangat mungkin kehadiran mereka akan mengembalikan citra bangsa
bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar dan terhormat.
0 comments:
Post a Comment